LEGALITAS MONEY POLITIK OLEH DPR, PENGERTIAN DAN NEGATIVE IMPACT BERLAKUNYA MONEY POLITIC

 

    

    Rabu, 15 Mei 2024 dalam acara rapat kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Komisi II DPR di Senayan, Jakarta Pusat. Salah satu Anggota DPR Komisi II Fraksi PDIP, Ir Hugua meminta untuk melegalkan money politic. Hugua berpendapat dengan melegalkan money politic Bawaslu akan lebih mudah mengawasi  jika politik uang dilegalkan dengan batasan tertentu. Menurut Hugua KPU dapat melegalkan money politic dengan memberikan batasan  tertentu Misalnya, maksimum Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, Rp 1 juta, atau Rp 5 juta. Dia mengklaim bahwa masyarakat tidak akan memilih politikus yang tidak menggunakan money politic.

       

    “ketidaklegalan politik uang justru menciptakan permainan kucing-kucingan antara para peserta pemilu dan pihak pengawas, yang pada akhirnya menguntungkan mereka yang memiliki sumber daya finansial lebih besar. Dia mengklaim bahwa hal ini akan mengubah kontestasi politik menjadi pertarungan para saudagar daripada para politisi dan negarawan sejati, karena kandidat tanpa uang tidak akan menang dalam atmosfer dan ekosistem masyarakat yang ada”. Ungkap Hugua 

    Sebelum kita membahas lebih lanjut pernyataan Hugua mengenai Legalitas Money Politic, terlebih dahulu kita mengetahui pengertian Money Politic atau Politik Uang. Money Politic adalah  upaya mempengaruhi hak pilih orang lain dengan menggunakan imbalan tertentu baik itu berupa uang, barang atau jasa, dan jika di tarik garis besar yaitu kegiatan membeli suara dengan tujuan untuk mendapatkan suatu kekuasaan. Money Politic upaya mempengaruhi perilaku masyarakat/pemilih menggunakan imbalan materi balik milik pribadi maupun partai untuk mempengaruhi suara pemilih (voters) dengan konsepsi bahwa materi tersebut dapat mengubah keputusan dan dijadikan sebagai wadah penggerak perubahan. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 151 Tahun 2000, tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah menyebutkan bahwa politik uang adalah pemberian uang atau bentuk yang lain, dan dilakukan oleh calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah atau yang berkaitan dengan pasangan calon, kepada anggota DPRD dengan maksud terang-terangan dan atau terselubung untuk memperoleh dukungan guna memenangkan pemilihan Kepala Daerah. Jadi dapat disimpulkan bahwa money politic adalah cara yang dilakukan oleh calon eksekutif maupun legislatif untuk memperoleh suara dengan cara memberikan bantuan berupa materi. Di dalam praktiknya money politic dilarang oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dengan tegas melarang segala bentuk pemberian uang atau materi lain kepada pemilih dengan tujuan mempengaruhi pilihan mereka. Melegalkan praktik ini akan memerlukan perubahan signifikan terhadap undang-undang yang ada, yang pada dasarnya bertujuan untuk menjaga integritas dan keadilan dalam proses pemilu. Legalitas politik uang akan merusak prinsip dasar demokrasi yang menjunjung tinggi suara setiap warga negara tanpa pengaruh finansial. Money Politic dibagi dalam kategori langsung dan tidak langsung. Misalnya, (a) membagi-bagikan uang secara langsung, (b) instruksi memasangkan bendera dengan imbalan uang, (c) pembagian sembako, (d) memberi uang kepada massa kampanye, (e) membagikan uang melalui temu kader, (f) janji-janji memberikan sesuatu, (g) memberikan bantuan dana pembangunan rumah ibadah, dan berbagai modus lainnya.

    Usulan Anggota DPR RI Fraksi PDIP Hugua mengenai legalisasi politik uang dalam Pemilihan Umum (Pemilu) telah memicu kontroversi dan perdebatan. Sebagian pihak mungkin melihatnya sebagai langkah pragmatis untuk menangani realitas politik di lapangan, sementara yang lain mungkin menganggapnya sebagai ancaman bagi integritas demokrasi dan berpotensi merusak prinsip-prinsip pemilu yang jujur dan adil. Hingga saat ini, politik uang masih dianggap sebagai praktik yang merusak demokrasi dan dilarang dalam berbagai undang-undang pemilu di banyak negara, termasuk Indonesia. Pandangannya mencerminkan realitas di mana politik uang sulit diberantas sepenuhnya, namun solusi yang ditawarkannya ini menimbulkan berbagai huru hara antara masyarakat. Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia menolak mentah-mentah usulan yang disampaikan Anggota Komisi II DPR Fraksi PDIP tersebut agar praktik money politic dalam kontestasi pemilu dilegalkan, Doli menegaskan bahwa pelaku money politic harus ditangkap. Pernyataan Hugua juga tidak sesuai dengan pesan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri. Sebagai Anggota Legislatif sekaligus kader PDIP, harus mengedepankan kedisiplinan,kejujuran,dan kemauan dalam bekerja, serta menjadi solusi untuk rakyat. 

    Pelanggaran berupa money politic dapat membahayakan demokrasi dan merusak kehendak rakyat dalam menentukan pilihannya. Sejatinya, praktik money politics dalam penyelenggaraan pemilu dapat menciderai demokratisasi, merusak sistem politik, menodai fairness proses politik atau lebih jauh lagi invalidasi hasil proses politik. Hal ini menunjukkan bahwa money politic adalah persoalan serius dalam penyelenggaraan pemilu. Terlebih Indonesia sebagai negara yang memilih pemerintahan berbentuk sistem demokrasi. Di mana merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta jiwa. Suatu negara yang memilih pemerintahan berbentuk sistem demokrasi, maka penyelenggaraan pemilu merupakan wajah peradaban suatu bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk suksesi kekuasaan semata, tetapi juga sebagai cermin bagi peradaban suatu bangsa. Artinya, penyelenggaraan pemilu yang baik haruslah mencerminkan nilai-nilai moral dan etika serta kejujuran yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa. Sehingga, penyelenggaraan pemilu yang baik akan membantu membangun peradaban yang lebih baik dan lebih bermartabat. Apabila praktek money politic dilegalkan seperti dikemukakan di atas, maka penyelenggaraan pemilu yang dikatakan sebagai pesta demokrasi rakyat pada proses pemilu yang tercermin dalam pemberian suara pemilih pada bilik-bilik suara hanyalah cerminan dari demokrasi elit (elite democracy) ketika praktek money politic adalah faktor penentu dibalik termobilisasinya massa pemilih saat pemilu.

    Dapat diketahui dari uraian di atas negative Impact apabila berlakunya money politic di Indonesia yang Pertama, jika kita lihat kaitan yang pertama ini legalisasi politik uang bisa dianggap merusak prinsip dasar demokrasi, yaitu kesetaraan suara dan integritas proses pemilihan. Demokrasi yang terjadi idealnya memungkinkan setiap suara memiliki nilai yang sama, terlepas dari status ekonomi pemilih atau kandidat. Melegalkan politik uang dapat memperkuat ketidakadilan dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem pemilu, karena kekuatan finansial dan ekonomi akan semakin dominan dalam menentukan hasil pemilu. Kedua, meskipun Hugua berargumen bahwa legalisasi akan mempermudah Bawaslu dalam mengawasi batasan politik uang, implementasi dan pengawasan praktik ini bisa jadi sangat kompleks. Menentukan batasan yang adil dan efektif untuk politik uang serta memastikan kepatuhan terhadap batasan tersebut akan menjadi tantangan besar. Ada risiko bahwa batasan ini justru akan diakali oleh para kandidat dan tim sukses mereka, menciptakan celah-celah baru untuk praktik korupsi apa bila sudah menduduki suatu jabatan. Ketiga, jika kita lihat dari sudut pandang masyarakat bahwa melegalkan politik uang bisa memperburuk budaya politik transaksional di Indonesia. Jika politik uang dianggap sah, pemilih mungkin akan semakin terpengaruh oleh uang dalam menentukan pilihan mereka, dari pada program atau kapabilitas kandidat sehingga masyarakat tidak peduli lagi akan visi misi dan program mereka. Jadi Ini bisa merusak proses pendidikan politik masyarakat, di mana pemilih diharapkan membuat keputusan berdasarkan penilaian rasional terhadap visi dan misi kandidat. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mengarah pada penurunan kualitas kepemimpinan publik dan peningkatan korupsi, karena jabatan publik dapat dibeli oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial terbesar. Dengan demikian, meskipun usulan Hugua mungkin bertujuan untuk pragmatisme dalam menghadapi realitas politik saat ini, dampak negatifnya terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik jauh lebih besar. Generasi mendatang mungkin akan tumbuh dalam lingkungan politik di mana uang menjadi alat utama untuk memenangkan jabatan publik, mengesampingkan meritokrasi dan komitmen untuk melayani masyarakat. Hal ini dapat memperparah korupsi politik dan menurunkan kualitas kepemimpinan di semua tingkat pemerintahan, karena jabatan publik dapat dibeli oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial terbesar, bukan oleh mereka yang memiliki kemampuan dan integritas terbaik. Oleh karena itu, langkah ini harus ditolak untuk menjaga keadilan dan integritas dalam proses pemilu, serta untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip yang adil dan bebas dari pengaruh uang.




DIVISI KAJIAN DAN PENELITIAN



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENTINGNYA PENGESAHAN SERTIFIKASI APOSTILLE DI INDONESIA

PRO DAN KONTRA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA