PRO DAN KONTRA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA

PRO DAN KONTRA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA

Oleh:

Jeny Alvita Nada

(Anggota Divisi Kajian Dan Penelitian MCC FS UIN RIL)





    Indonesia adalah sebuah negara hukum, artinya semua warga negara dan penyelenggara harus tunduk pada aturan hukum yang berlaku. Salah satu hukuman yang ada di negara ini adalah pidana mati. Di Indonesia, pidana mati adalah hukuman yang sudah ratusan tahun lalu mendapatkan pro dan kontra. Pro dan kontra pidana mati menjadi sebuah perdebatan dan pengkajian yang tidak ada hentinya (Darmawan). Tidak hanya di Indonesia, pro dan kontra tersebut terjadi hampir di seluruh negara yang ada di dunia.

    Pidana mati merupakan hukuman berupa perampasan jiwa, bagi orang yang melakukan pelanggaran berat dan terorganisir terhadap hukum. Pidana mati juga merupakan hukum tertua serta paling kontroversial dari berbagai macam pidana lainnya. Tujuan dilaksanakannya hukuman mati adalah agar masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya suatu gangguan terhadap ketentraman yang sangat ditakuti oleh umum.

    Perdebatan tentang pidana mati, antara masih diperlukan atau tidak diperlukan penerapanya di Indonesia, tentu harus benar-benar dikaji dengan baik. Tentunya dengan persoalan tersebut para ahli hukum, para aktivis, dan sebagainya selalu mengemukakan pendapat pro dan kontra dengan alasan yang rasional. Beberapa ahli maupun tokoh yang mendukung keberadaan pidana mati adalah Suringa, Lambroso, Garofalo, dan Jonkers.

    Suringa sependapat dengan pidana mati, yang menyatakan bahwa pemerintah tersebut ambigu dalam hal arus relasi dengan warga negaranya. Pada satu sisi negara melindungi dan membela setiap warganya dari serangan siapapun, tetapi di lain sisi, negara memerangi warga negara yang hendak dilindunginya dan dibelanya tersebut, dengan alasan dia sudah melakukan kejahatan. Suringa mendukung eksistensi pidana mati dengan pendapatnya, bahwa “Pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusioner kita cepat dapat mempergunakannya.” (A. Hamzah dan A. Sumangelipu, 1985).

    Lambroso dan Garofalo berpendapat, “Pidana mati adalah suatu bentuk hukuman yang sangat dibutuhkan di masyarakat untuk memusnahkan orang yang telah melakukan tindak pidana luar biasa serius.” Penulis berargumen seperti itu didasarkan pada pendapat Lambroso dan Garofalo, mereka menyatakan, bahwa “Pidana mati itu adalah alat mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi.” Individu itu jelas orang- orang yang melakukan kejahatan luar biasa serius (extraordinary crime) (Kemenkumham, 2019).

    Selanjutnya, Jonkers berpendapat bahwasannya, “Alasan pidana tidak pernah dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan” bukanlah alasan yang dapat diterima untuk menyatakan “Pidana mati tak dapat diterima, sebab di pengadilan putusan hakim biasanya didasarkan alasan-alasan yang benar.” (A. Hamzah dan A. Sumangelipu, 1985).

    Jadi, berdasarkan uraian pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa para pendukung hukuman mati pada saat ini semata-mata menjadikan hukuman mati sebagai instrumen yang digunakan untuk melindungi masyarakat negaranya baik dalam bentuk preventif maupun represif. Represif di sini bukanlah untuk menjadikan mereka yang diperintah menjadi lemah layaknya kekuasaan otoriter, namun menjadikan pidana mati untuk menyingkirkan orang-orang yang bertentangan dengan perundang-undangan.

    Selanjutnya, para ahli maupun tokoh yang kontra terhadap hukuman mati ini tidaklah sedikit, serta mereka menyandarkan argumennya pada sebuah landasan berpikir yang ilmiah dan rasional. Adapun seorang tokoh aliran klasik yang terkenal, karena pendapatnya yang menentang pidana mati, yakni Beccaria seorang berkebangsaan Italia. Beccaria menentang pidana mati ini, karena proses hukum yang dijalankan. Menurutnya, penerapan proses hukum terhadap seseorang yang dituduh membunuh anaknya sendiri tersebut sangat buruk (pendapat yang dikemukakan beberapa waktu lalu setelah eksekusi, dan ternyata dapat dibuktikan bahwa putusan tersebut salah) (A. Hamzah dan A. Sumangelipu, 1985).

    Setelah nama Beccaria ini tenggelam, lalu munculah tokoh dan ahli lain yang menentang pidana mati. Adapun beberapa tokoh dan ahli tersebut adalah Moderman, J.E. Sahepty. Pendapat yang disampaikan oleh Moderman ini menggunakan analogi dalam menolak pidana mati:
“Tokoh saudara-saudara masih mendirikan kebun-kebun binatang dimana terdapat kumpulan binatang-binatang buas, yang juga tidaklah mustahil dapat meloloskan diri dari kekurangannya dan mengacaukan keamanan masyarakat. Saya akan lebih takut andaikata tiba-tiba kepergok dengan binatang buas tersebut, daripada kepergok dengan penjahatpenjahan yang dimaksudkan di atas.”

    Pendapat diatas sangat kontras dengan yang terjadi di Indonesia, alasannya beberapa tahun lalu setelah pendapat Modderman disetujui mengenai penghapusan pidana mati, di Indonesia justru diberlakukan pidana mati. Berdasarkan perbandingan hukum pidana, dapat disimak bersama pendapat Andi Hamzah, sebagai berikut:
“Di dalam KUHP di Indonesia tertulis pidana mati, sedangkan di Belanda sejak tahun 1870 sudah dihapuskan. Karena keadaan di Indonesia berbeda dengan Belanda, ribuan pulau, beraneka suku bangsa, tenaga kepolisian yang kurang mencukupi, jadi perlu pidana yang lebih berat. Dengan sendirinya pasal yang berkaitan dengan pidana mati seperti pasal 6 dan pasal 11 terdapat dalam WvSI (KUHP) tetapi tentu tidak ada dalam Ned. WvS.”.

    Berkaitan dengan adanya pidana mati dalam hubungannya dengan pancasila, Prof. Sahetapy memiliki pandangan yang berbeda dengan A. Sumangelipu dan Andi Hamzah. Dalam skripsinya dijelaskan, bahwa pidana mati bertentangan dengan nilai Pancasila. Hal tersebut didasarkan pada pasal 95 ayat (2), walaupun pada saat itu telah dilaksanakan kembali pada UUD 1945. Selain berdasarkan alasan tersebut, Prof. Sahetapy juga mengemukakan bahwa pidana mati merupakan sebuah warisan dari kolonial yang tidak pantas untuk diteruskan.

    Kontroversi kontra terhadap pidana mati membuat banyak negara menghapuskan jenis pidana ini, pada hukum positif di negaranya. Berdasarkan data Amnesty International (2006) menyatakan bahwa hingga saat ini ada 129 Negara yang meniadakan pidana mati dari ketentuan hukum pidana positifnya. Dari data tersebut, sebanyak 88 negara meniadakan pidana mati secara penuh, 11 negara memberlakukannya secara sangat spesifik, yaitu hanya pada kejahatan di waktu perang, dan sebanyak 30 Negara tetap mempertahankan dalam hukum nasionalnya tetapi tidak pernah lagi melaksanakan prakteknya.

    Dari sudut pandang kemanusiaan, pelaksanaan pidana mati terlihat kejam dan tidak manusiawi, namun jika dipikirkan secara mendalam, sebenarnya pidana mati memberikan efek jera yang sangat efektif, baik terhadap pelakunya, maupun masyarakat yang memiliki potensi untuk melakukan kejahatan berat. Meski kontra terhadap pidana mati ini terus bertambah, untuk saat ini di Indonesia masih membutuhkan pidana mati guna melindungi masyarakat, karena keadaan negara Indonesia yang masih sering terjadi kejahatan besar seperti pembunuhan, pemerkosaan, perampokan bersenjata, serta koruptor. Pendapat tersebut disandarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh De Bussy yang membela pengadaan pidana mati di Indonesia dengan menyatakan bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan khusus.

    Adanya pidana mati di Indonesia, secara rasional adalah sebagai alat untuk melindungi masyarakatnya. Hukuman diadakan tentu saja mempertimbangkan dan memperhatikan kebutuhan warga negara Indonesia. Dengan hal tersebut tidaklah kita bisa untuk menyamakan hukum yang berlaku secara nasional disetiap Negara.


DAFTAR PUSTAKA;

Kemenkumham. (2016). “Kontroversi Penjatuhan Hukuman Mati Terhadap Tindak Pidana Narkotika Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”. Retrieved from jdih.situbondokab.go.id: https://jdih.situbondokab.go.id/barang/buku/Kontroversi%20Penjatuhan%20Hukuman                %20Mati%20terhadap%20Tindak%20Pidana%20Narkotika%20dalam%20Perspektif %20Hukum%20dan%20Hak%20Asasi%20Manusia%20by%20Bungasan%20Hutapea %20(z-lib.org).pdf

A. Hamzah & A. Sumangelipu, (1985) “Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan dan Masa Depan", Ghalia Indonesia, Jakarta.

Hadiyanto Alwan. (2016). “Pro dan Kontra Pidana Mati Di Indonesia”. Jurnal Dimensi Volume5(Nomor 2).

Iwan Darmawan, “Pro dan Kontra Pidana Mati”, Retrieved from unpak.ac.id: www.unpak.ac.id/pdf/prokontra


Editor            : Pengurus Divisi Kajian dan Penelitian

Publikasi       : Kominfo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEGALITAS MONEY POLITIK OLEH DPR, PENGERTIAN DAN NEGATIVE IMPACT BERLAKUNYA MONEY POLITIC

PENTINGNYA PENGESAHAN SERTIFIKASI APOSTILLE DI INDONESIA