Menyikapi OMNIBUS LAW cipta lapangan terhadap PPRI



Omnibus law ( omnibus bill atau act law ) yang biasa dikenal dengan nama omnibus bill oleh
negara yang menganut sistem hukum common law, seperti amerika serikat dan inggris.
Omnibus law atau act adalah suatu kebijakan yang semacam seperti "sapu jagat" yang dapat
berfungsi menyapu seluruh undang-undang yang mempunyai kesamaan materiil peraturan.
Sehingga dalam setiap produk hukum yang dikeluarkan akan dapat mengakamodir dan
menggabungkan seluruh pasal.
Indonesia saat ini memiliki banyak peraturan yang Hiper - regulasi, over -legislasi atau tumpang
tindih regulasi sehingga dapat bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia ( UUD NEGARA
RI TAHUN 1945 ). Sehingga dapat membuat ketidak sikronisasi yang mengarah kepada
kecacatan hukum. Hal ini kita dapat contohkan regulasi yang mempunyai ketidak kesesuain,
seperti dalam penguasaan tanah. Menurut UU Pokok agraria uu no 5 tahun 1960 menyebutkan
dalam pasal 26 ayat, 1,2 dan 3 bahwa " HGU dapat dimiliki oleh perusahaan selama 25 tahun
dan dapat ditambah 35 tahun " sedangkan UU Penanaman modal asing UU no 25 tahun 2007
di sebutkan bahwa " HGU dapat dimiliki oleh perusahaan selama 95 tahun dan dapat ditambah
selama 60 tahun, dan dapat diperbarui selama 35 tahun ".
Contoh diatas menunjukkan bahwa keadaan administrasi sangat tidak sesuai atau singkron
kedua hal terssebut.
Omnibus law bukan solusi untuk dapat mengihlangkan regulasi hiper - regulasi atau tumpang
tindih regulasi yang ada sekarang atau seperti di contohkan diata, justru sebaliknya dengan
adanya OMNIBUS LAW CILAKA ( cipta lapangan kerja ) akan menghilangkan hak - hak normatif
bagi masyrakat pekerja ( buruh ), karna UU ini setelah di undangkan yang akan merasakan
dampak secara langsung yakni buruh itu sendiri.
Mari kita lihat kesesuain OMNIBUS LAW CILAKA dengan perspektif pembentukan peraturan
perundang undangan ( UU no 12 tahun 2011 atas perubahan UU NO 15 tahun 2019 ).
Didalam BAB XI tentang partisipan dalam pasal 96 ayat 1 " menyebutkan Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan." Lalu bagaimanakah dengan masyarakat, atau pekerja ( buruh ).
Bahwa kalau kita melihat dalam partisipan masyarakat tidak diikutsertakan sejak awal dalam
perancangan dan pembentukan UU CILAKA , dan melihat dilapangan lapangan bahwa telah
terjadi penolakan besar besaran yang dilakukan oleh kaum buruh seperti organisasi masyarakat
dan buruh ( GEBRAK ) baik disektor daerah maupun nasional hal ini kita dapat ambil contoh
seperti Federasi Serikat Buruh Karya Utama ( FSBKU - KSN ) di tingkat wilayah lampung yang
pada hari kamis tanggal 13 februari 2020 melakukan aksi penolakan OMNIBUS LAW CILAKA
yang sararkan di DPRD KOTA METRO Lampung, dan ada juga Konfederasi alisansi serikat
buruh Indonesia ( KASBI ) ditingkat nasional, kemudian ada juga Konfederasi persatuan buruh
Indonesia (KPBI) DPW jakarta dan Jawa Barat yang pada hari minggu tanggal 16 Februari 2020
sedang melangsungkan rapat akbar untuk menolak kebijakan OMNIBUS LAW CILAKA.
Kemudian OMNIBUS LAW CILAKA ini dianggap sebagai kebijakan yang dibuat dan putuskan
secara sepihak saja tanpa melibatkan masyarakat, karna dalam pembentukan tim koordinasi
yang dibuat KEMENKO yang berjumlah 127 orang mayoritas kebanyak pengusaha dan pejabat
negara, hal ini akan dapat melangsungkan keuntungan yang berlipat ganda bagi pengusaha yang
akan bersemayam di negeri Indonesia. Hal ini kita dapat menilai bahwa OMNIBUS LAW ( UUCILAKA ) sangat tidak efektif dan cacat secara prosedural, serta tidak ada kemanfaatan bagi
rakyat pekerja malah. Karna dalam UU CILAKA akan adanya penghapusan hak normatif rakyat
pekerja, penghapusan upah minimum, penghapus pesangon, menciptakan fleksibilitas pasar
utama tenaga kerja dan penghapusan uu tindak pidana ketenagakerjaan. Keempat hal tersebut
akan berdapampak kepada perlindugan buruh dan terancamnya pemecatan yang dilakukan
oleh pengusaha. Kemudia RUU Cipta lapangan kerja menjadi Program Legislasi Nasional Super
Prioritas 2020 yang di dalamnya ada 11 kluster, yaitu: Penyederhanaan Perizinan, Persyaratan
investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan dan Perlindungan UMKM, Kemudahan Berusaha, Riset
dan Inovasi, Administrasi Pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Kemudahan
Proyek Pemerintah, Kawasan Ekonomi.
Bagaimana dengan 79 UU yang terdiri dari 1.194 pasal terkait investasi ketika disahkan
OMNIBUS LAW CILAKA? Dan bagaimanakah kepastian hukumnya dengan adnya OMNIBUS LAW
INI di negara Indonesia?, karna OMNIBUS LAW yang sifatnya mandiri dan tidak mempunyai
payung hukum di negara Indonesia, dan bisakah mentransformasikan kedalam sistem hukum
civil law? Jawaban dari pertnyaan tersebut akan sangat sangat sulit kita pahami kalau kita tidak
bisa mempelajari lebih dan menganilis lebih mendalam terkait kajian OMNIBUS LAW itu sendiri.
Oleh karna itu kita dapat menyimpulkan bahwa RUU OMNIBUS LAW CILAKA di buat hanya
semata - mata untuk memudahkan kaum investasi masuk dan mengambil sumber daya alam
dan mengeksploitasi rakyat pekerja dengan tidak didasari aturang yang sangat - sangat tidak
mementingkan perlindungan rakyat pekerja itu sendiri. Lalu sikap kita sebagai mahasiswa yang
dianggap olem rakyat adalah kaum intelektual harus mempunyai sikap untuk terlibat menolak
dengan berdasarkan analisis kajian yang objektif dan didasari oleh praktek bersama kaum
pekerja dalam penolakan tersebut. Supaya kita dapat memberi pemahaman kepada mahasiswa
lainnya untuk bisa mengajak memberikan pemahaman kepada rakyat Indonesia.




penulis: Yusril Iza Mahendra
publishet:Evi Natalia (kadiv komifo)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEGALITAS MONEY POLITIK OLEH DPR, PENGERTIAN DAN NEGATIVE IMPACT BERLAKUNYA MONEY POLITIC

PENTINGNYA PENGESAHAN SERTIFIKASI APOSTILLE DI INDONESIA

PRO DAN KONTRA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA