PASAL-PASAL PENINGGALAN KOLONIAL DALAM RKUHP : DIPELIHARA UNTUK MEMATIKAN DEMOKRASI ?
Legal Research
UKM-F MCC UIN Raden Intan Lampung
RKUHP : Pembaharuan Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merupakan suatu peraturan perundang-undangan menjadi dasar hukum pidana di
Indonesia. Saat ini, KUHP digunakan di Indonesia masih berasal dari salah satu
kitab hukum peninggalan Belanda, yaitu Wetboek van Stratrecht voor
Nederlandsch-Indie (WvS). Namun, secara resmi digunakan di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, KUHP yang
digunakan masyarakat secara luas mempunyai 6 versi terjemahan dan tidak satupun
diakui resmi oleh negara. Hal ini mendorong upaya pembaharuan KUHP sejak masa
kemerdekaan.
Pembahasan mulai dilakukan sejak draf pertama Rancangan Undang-Undang Tentang RKUHP tersebut ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas pada tahun 2015. Pemerintah dan DPR RI berencana mengesahkan draf tersebut pada September 2019 dalam keadaan minim keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunannya. RKUHP juga terdapat pasal-pasal bermasalah yang memiliki potensi mengancam keberlangsungan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Kemudian, memicu kritik dan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat hingga puncaknya pada aksi #ReformasiiDikorupsi. Sebagai respon atas penolakan tersebut, pemerintah mengumumkan penundaan pengesahan RKUHP agar dikaji ulang.
Draf Terbaru RKUHP : Masih Terdapat Pasal-Pasal
Peninggalan Kolonial ?
Setelah penundaan pemerintah tersebut,
pembahasan RKUHP kembali direncanakan pada tahun 2021. Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Yasana Laoly, menginginkan RKUHP dimasukkan ke dalam Prolegnas
Prioritas 2021. Namun, bukannya mengalami perubahanan setelah peninjauan ulang,
draf terbaru RKUHP beredar dan digunakan dalam sosialisasi RKUHP di 11 kota
masih merupakan draf tahun 2019 memuat pasal-pasal bermasalah, termasuk
pasal-pasal peninggalan kolonial yang berpotensi akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan mengekang kehidupan demokrasi di Indonesia.
Pasal-pasal ini bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menjamin
pemenuhan atas hak-hak asasi warga negara termasuk hak untuk menyatakan sikap
dan pikiran sesuai hati nuraini kemudian diatur dalam Pasal 28E ayat (2), hak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana
telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3), hak untuk mengeluarkan pendapat
sebagaimana diatur dalam Pasal 28F ayat (3), serta hak atas kepastian hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 28D ayat (1).
Beberapa
pasal-pasal peninggalan kolonial dinilai berpotensi mematikan demokrasi yaitu :
- Pasal 218-220 RKUHP
tentang Penyerangan Kehormatan dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 218-220 RKUHP membahas mengenai penghinaan terhadap martabat presiden atau wakil presiden dengan ancaman pidana maksimal 3 tahun 6 bulan dan maksimal 4 tahun 6 bulan apabila dilakukan melalui media sosial datau sarana elektronik lainnya. Rumusan ini memuat konsep kejahatan yang sama dengan Pasal 134 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP terkait penghinaan presiden merupakan peninggalan kolonial Belanda dan awal mula digunakan untuk melindungi martabat raja atau ratu di Belanda.
Pasal
penghinaan presiden dalam KUHP sebenarnya telah dihapus dan diputuskan
inkonstitutional oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan
013-022/PUU-IV/2006 merupakan negasi dari prinsip persamaan didepan hukum,
mengurangi kebebasan mengekpresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan
informasi, dan prinsip kepastian hukum. Dalam draf terbaru, pasal ini
dibangkitkan kembali dengan delik aduan. Realitanya, eksistensi pasal tetap
tidak relevan karena apabila presiden dilihat sebagai individu, KUHP sudah
mengatur tindakan penghinaan upaya melindungi pribadi seseorang pada pasal
439-448. Dalih penghinaan presiden kepada presiden juga sebagai sebuah lembaga
yang tidak relevan karena pasal penghinaan dibentuk sebagai perlindungan untuk
individu, bukan lembaga yang berhak menerima kritik dan komentar sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Hak Sipil dan
Politik.
- Pasal 273 RKUHP tentang
Tindak Pidana Penyelnggaraan Unjuk Rasa, atau Demonstrasi Tanpa Izin
Pasal 273 RKUHP yang berpotensi mengekang pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pasal ini mengatur sanksi pidana maksimal 1 tahun bagi setiap orang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demontrasi di jalan umum atau tempat umum mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimulkan keonaran atau huru-hara dalam masyarakat. Pasal 273 RKUHP merupakan produk hukum kolonial Belanda dikenal sebagai Pasal 510 KUHP.
Pasal
273 RKUHP juga mengekang iklim demokrasi yang menjunjung tinggi hak atas
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana telah terjamin
dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Padahal, dilihat dari Pasal 13 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, aktivitas unjuk rasa atau demostrasi tidak
perlu mendapatkan izin kepolisian. Oleh karena itu, ketentuan terkait sanksi
untuk kegiatan unjuk rasa dan demonstrasi tidak pada pasak 510 KUHP sudah tidak
relevan. Kemudian, apabila dibandingkan dengan Pasal 510 KUHP ancaman pidana
mengalami peningkatan yang drastis dari 2 minggu menjadi maksimal 1 tahun
penjara. Frasa yang digunakan terganggunya kepentingan umum dalam Pasal 273
RKUHP membuat pasal ini menjadi karet sebab tidak ada batasan tegas mengenai
definisi terganggunya kepentingan umum sehingga dapat menimbulkan multitafsir.
- Pasal 281 RKUHP
tentang Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan
Pasal ini menimbulkan polemik terdapat
dalam pasal 281 (b) dan (c) RKUHP tentang Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan
Proses Peradilan. Pasal 281 (b) memuat sanksi pidana terhadap setiap orang yang
bersikap tidak hormat terhadap hakim atau menyerang integritas hakim, misalnya
dengan menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur. Kemudian, Pasal 281 (c)
memuat sanksi pidana terhadap setiap orang tanpa izin pengadilan, melakukan
perbuatan merekam, memublikasikan secara langsung atau memperboleh proses
persidangan untuk di publikasikan.
Permasalahan terdapat dalam Pasal 281 (b)
RKUHP sebab istilah tidak hormat dan menyerang integritas pada pasal
tersebut tidak dijelaskan secara tegas. Pasal ini mudah menyasar para
akademisi, pers atau media hingga kelompok masyarakat yang berusaha
menyampaikan penilaiannya terhadap hakim atau pengadilan yang dianggap tidak
imparsial. Namun, pemasalahan lain juga terdapat pada Pasal 281 (c) RKUHP yang
ditunjukkan untuk melarang adanya Trial by The Press, yaitu peradilan
secara tidak langsung dilakukan oleh pers dengan melakukan pemberitaan suatu
perkara masih diproses dalam peradilan. Karena, menurut pemerintah hal ini
dapat memengaruhi independensi hakim. Selain itu, ketentuan tersebut tidsk
sejalan dengan sifat peradilan di Indonesia yang bersifat terbuka dan
berpotensi mengurangi hak untuk memperoleh informasi sebagaiamana telah dijamin
dalam Pasal 18F UUD 1945.
Pemerintah menganggap urgensi pengesahan
RKUHP untuk bebas dari KUHP Peninggalan Kolonial. Namun, Pasal-pasal dalam draf
tersebut menunjukkan sebaliknya.
Penulis
: Wahlulia Amri ( Staff Legal Research )
Publish
: Kominfo UKM-F MCC
Komentar
Posting Komentar