LOMBA KARYA TULIS ILMIAH HARI BHAKTI ADHYAKSA KE 61 KEJAKSAAN TINGGI LAMPUN: PERAN KEJAKSAAN DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN RESTORATIF

 



NOMOR PESERTA

00202612021

 

LOMBA KARYA TULIS ILMIAH HARI BHAKTI ADHYAKSA KE 61 KEJAKSAAN TINGGI LAMPUNG

02


PERAN KEJAKSAAN DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN RESTORATIF

Oleh:

Adinda Dwi Prestiwi

Mahasiswa Fakultas Hukum UIN Raden Intan Lampung

Jl. Pulau Tegal No 5 Bandar Lampung 35131, Telp 085383448801

Email: adindadwiprestiwi@gmail.com

 

ABSTRAK


Penerapan keadilan restorative atau biasa yang disebut (restorative justice) adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku maupun korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sederhananya, ukuran keadilan tidak lagi hanya terpaku dengan keadilan prosedural dalam hukum materil seperti halnya berdasarkan pembalasan setimpal dari korban pada pelaku, tetapi perbuatan yang dilanggar tersebut dapat diselesaikan dengan memberikan dukungan kepada korban, bahkan pelaku untuk bertanggung jawab oleh keluarga dan masyarakat.

Lalu bagaimana penerapan pendekatan keadilan restorative dalam institusi Kejaksaan yang berdampak dalam penyelesaian kasus hukum di Indonesia. Maka, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai peran kejaksaan dalam mewujudkan keadilan restorative di Indonesia. Jenis penelitian in adalah yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran kejaksaan dalam mewujudkan Keadilan Restorative khususnya dalam perkembangan keadilan turut bertransformasi seiring diterapkannya pendekatan keadilan restorative dalam ranah pelaksanaan penanganan dan penyelesaian perkara.

Kunci: penerapan, keadilan restorative, Kejaksaan.

 

A.    Latar Belakang

            Berdasarkan peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative merupakan transformasi paradigma pendekatan hukum yang semula mengimplementasi keadilan retributive. Artinya Sistem Hukum Pidana Indonesia telah memasuki babak baru dalam perkembangannya, salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restorative (restorative justice) yang berbeda dengan keadilan retributive (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutive (menekankan keadilan pada ganti rugi). Munculnya ide restorative justice sebagai kritik keras atas penerapan sistem keadilan dalam peradilan pidana yang dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan konflik sosial. Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidanaan modern, telah memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau “Doer-Victims” Relationship. Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad-dader straftecht”. Ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam penegakkan HAM, bahwa ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu segi struktur (structure), substansi (substance) dan budaya (legal culture) yang kesemuanya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel.[1]

             Prinsip pada Keadilan retributive merupakan teori yang pertama kali muncul sebagai justifikasi atau alasan pembenar dilakukannya sebuah pemidanaan. Dalam penerapan keadilan retributive tersebut hanya berfokus pada penuntutan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku lalu mendapatkan hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan olehnya tanpa adanya upaya keadilan bagi pelaku. Sementara prinsip pada pendekatan keadilan restorative adalah lebih menitikberatkan pada adanya sebuah partisipasi yang dilakukan oleh pihak pelaku, pihak korban, dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Atau sederhananya adalah pemulihan hubungan antara pihak pelaku dan korban dalam perkara pidana.

Sementara mengenai sejarah penerapan keadilan restorative, patut di ketahui bahwa sistem ini sudah di praktikan dipelbagai masyarakat, sejak sebelum penyelesaian perkara pidana diambil alih atau di intervensi oleh negara atau kelompok kepentingan yang berpengaruh. Dilihat dan konteks sejarah, masyarakat telah mengenal mekanisme penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice sejak 40 abad yang lalu. Dalam Code Of Ur-Nammu, Kitab Hukum tertua yang ditulis sekitar 2000 SM (Sebelum Masehi) di Sumeria. Misalnya ditemukan kewajiban membayar ganti rugi kepada korban kejahatan kekerasan. Pembayaran ganti rugi sebagai sanksi atas kejahatan harta benda juga ditemukan dalam Code Of Hammurabi yang diperkirakan ditulis pada tahun 1700 SM (Sebelum Masehi) di Babylon. [2]

Dignan dalam karyanya Understanding and Restorative Justice mengungkapkan istilah keadilan restorative berawal ketika Albert Eglash berupaya membedakan tiga bentuk peradilan Pidana:

1.      Retributive justice (Keadilan Retributive)

2.      Distributive justice (Keadilan Distributive)

3.      Restorative justice (Keadilan Restorative)

Menurut Eglash, sasaran keadilan retributive adalah penghukuman terhadap pelaku atas kejahatan yang dilakukan. Adapun sasaran keadilan distributive adalah rehabilitasi para pelaku kejahatan. Sementara itu, keadilan restorative merupakan prinsip restitusi dengan melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku. Kerangka historis keadilan restorative di latarbelakangi ketidakpuasan atas implementasi sistem peradilan pidana pada pertengahan tahun 1970 yang bersifat retributive karena dianggap kurang memberi manfaat terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Beberapa kelompok aktivis sistem peradilan pidana yang tersebar di Amerika Utara dan Eropa kemudian berupaya mengadakan gerakan reformasi sistem pemidanaan secara terorganisasi. Hingga tahun 1974, terinisiasi Victim-Offender Reconciliation Program (VORP) di Ontario, Kanada, yang di indikasi sebagai gerakan awal konsep keadilan restorative.  Program yang semula ditujukan kepada pelaku tindak pidana Anak dalam bentuk ganti kerugian kepada korban ternyata memperoleh tingkat kepuasan yang cukup tinggi dari korban, pelaku, maupun masyarakat. Prestasi ini mendorong lahirnya program serupa di kawasan Eropa dan Amerika Utara. Seiring berjalannya waktu, derivasi dari konsep keadilan restorative berkembang menjadi beberapa jenis pendekatan. Dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana karya Eddy O.S. Hiariej setidaknya tercatat lima pola implementasi sistem peradilan pidana yang di klaim berpedoman pada keadilan restorative. Pendekatan pertama, court-based restitutive and reparative measures. Konsep ini diusung para pendukung “civilization thesis” di Inggris melalui tuntutan ganti kerugian oleh pelaku sebagai bentuk reparasi terhadap korban.[3]

            Satjipto Raharjo menyatakan bahwa penyelesaian perkara melalui sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum (law enforcement) ke arah jalur lambat. Hal ini dikarenakan penegakan hukum itu melalui jarak tempuh yang panjang, melalui berbagai tingkatan mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan sampai ke Mahkamah Agung yang pada akhirnya berdampak pada penumpukan perkara yang jumlahnya tidak sedikit di pengadilan. Sehingga menyebabkan sistem peradilan pidana kurang maksimal dalam implementasinya. Selain itu, keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata belum tentu mencerminkan rasa keadilan, karena bersifat mahal, berkepanjangan, melelahkan dan tidak menyelesaikan masalah serta yang lebih parah lagi adalah di dalamnya penuh dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang membuat hukum indonesia di anggap tidak mempunyai jiwa keadilan[4]. Oleh karena itu banyak terminologi yang digunakan untuk menggambarkan konsep keadilan restorative baik dalam perspektif pada kepolisian, serta kejaksaan. Seperti communitarian justice (keadilan komunitarian), positive justice (keadilan positif), relational justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparative), dan community justice (keadilan masyarakat).[5]

            Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia bermula pada keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung yang mengatur penerapan keadilan restorative dalam penanganan perkara tindak pidana ringan, perempuan yang berhadapan dengan hukum, anak dan narkotika di Pengadilan Negeri. Keadilan restorative pertama kali diterapkan pada sistem peradilan pidana anak yaitu Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1997 diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dimana terdapat perubahan fundamental sebagai upaya mengatasi kelemahan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997. Perubahan fundamental berupa adanya pendekatan keadilan restorative dengan melalui sistem diversi (Pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan ke proses diluar peradilan pidana).

Selanjutnya adalah institusi Kepolisian melalui SE Kapolri No. SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restorative (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana yang disahkan pada tanggal 27 Juli 2018 lalu[6]. Dan dalam Penyelesaian Perkara Pidana yaitu Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019. Model penyelesaian perkara dengan menggunakan keadilan restorative adalah sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan, dengan membebani kewajiban terhadap pelaku kejahatan dengan kesadarannya mengakui kesalahan, meminta maaf, dan mengembalikan kerusakan dan kerugian korban seperti semula.

Terakhir adalah institusi Kejaksaan. Seiring adanya lini perubahan berupa Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative, menekankan adanya pembaharuan dalam paradigma penegakan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Akibatnya terjadi sebuah pergeseran dalam paradigma penegakan hukum, yang semula adalah Keadilan Retributive (Pembalasan) bergeser menjadi keadilan Restorative.[7]

Hal ini tergambar dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang mengedepankan paradigma tersebut seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang terakhir diubah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang mana Kejaksaan diberikan peran untuk menggunakan dan mengedepankan Keadilan Restorative. Rasa keadilan masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek kemanusiaan seperti pencurian yang nilai kerugiannya minim, Jaksa harus dapat menuntut atau bersikap dengan berpedoman kepada Keadilan Restorative. Perkembangan lain adalah bahwa dalam penegakan hukum tidak hanya menggunakan pendekatan preventif represif, namun juga dapat diambil pendekatan lainnya seperti Penyelesaian Sengketa Alternatif sebagaimana halnya Mediasi Penal. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary).

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

Bagaimana Peran Kejaksaan dalam mewujudkan Keadilan Restorative?

Metode Penelitian

            Adapun focus dari penelitian ini adalah dengan (library research), yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, undang-undang yang yurisdiksi berkaitan jurnal penelitian. Artikel-artikel, jurnal, makalah, media massa, serta bahan-bahan lainnya yang ada kaitannya dengan masalah yang diangkat. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan kesesuaian pada judul penelitian. Dan menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif analisis. Adapun pengertian dari deskriptif analis ini ialah memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena[8].  Penulis beranggapan bahwa penelitian besifat deskriptif analis ini lebih efektif dalam memaparkan atau menggambarkan mengenai segala suatu data. Upaya ini dilakukan dengan mengkaji nya, lalu di konstelasikan.

B.     Pembahasan

          Mengacu pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative merupakan transformasi adanya pranata baru sistem peradilan khususnya dalam penegakan hukum berupa sistem perkara pidana dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restorative.

          Dalam praktiknya pada sistem peradilan, keadilan restorative digunakan dalam menyelesaikan perkara pidana dengan cara mengalihkan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Artinya keadilan restorative tidak berorientasi pada penjatuhan hukuman melainkan berfokus pada pemberian bagi korban berupa mendapatkan restitusi, reparasi, rasa aman bagi korban, yang memungkinkan pelaku untuk memahami sebab dan akibat perilakunya bertanggung jawab dengan cara yang berarti, serta memungkinkan masyarakat untuk memahami sebab utama terjadinya kejahatan, untuk memungkinkan masyarakat dan mencegah kejahatan. Sementara itu keadilan restorative dapat terwujud melalui mediasi antara korban dan keluarga pelaku, dan pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan bagi korban maupun pelaku.

          Ciri-ciri serta karakteristik paradigma peradilan restorative yang tidak saja berdimensi tunggal pengendalian pelaku, melainkan berdimensi tiga sekaligus, yaitu korban, pelaku dan masyarakat, sementara kepentingan negara diwakili oleh peran dari lembaga peradilannya sendiri.[9]

          Dalam hukum materil nya, Melalui Buku I RKUHP dapat diketahui bahwa RKUHP menganut konsep rechterlijke pardon atau pemaafan hakim sebagaimana tertuang dalam Pasal 54 dimana hakim dengan alasan yang telah ditentukan seperti ringannya perbuatan, keadaan pribadi, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan sanksi pidana atau mengenakan tindakan kepada pelaku dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanusiaan. RKUHP juga mendesain sanksi pidana dari yang ringan ke yang paling berat. Hal ini menandakan bahwa RKUHP mencoba mengakomodasi prinsip keadilan restorative dengan membuka kemungkinan bahwa pidana berat adalah upaya terakhir yang ditempuh. Salah satunya dibuktikan dalam Pasal 70 RKUHP yang mengalternatifkan pidana penjara dengan pidana denda, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial karena kondisi tertentu yang salah satunya apabila terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban[10]

          Sementara itu pendekatan keadilan restorative dalam Sistem peradilan pidana (Criminal justice system) atau interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana, menunjukkan cara kerja dalam menanggulangi tindak kejahatan dengan berdasarkan pendekatan sistematis yang di dalam nya terdapat bagian-bagian yang merupakan subsistem antara lain: Instansi Kepolisian, Instansi Kejaksaan, Lembaga Peradilan dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan). Instansi kepolisian dan kejaksaan inilah yang diberi peran dalam menerapkan keadilan restorative yang mempunyai tujuan-tujuan antara lain tujuan jangka pendek yaitu memasyarakatkan kembali pelaku tindak pidana, tujuan jangka menengah yaitu mencegah terjadinya kejahatan, dan tujuan jangka panjangnya adalah untuk kesejahteraan sosial dengan cara mediasi dimana mengalihkan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

          Kejaksaan sendiri merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Hal sesuai dengan rumusan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat 1.

          Kejaksaan sebagai aparatur penegak hukum dalam pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.  Mengacu pada undang-undang tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. [11]

          Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Dalam formulasi payung hukumnya, Kejaksaan sendiri mengalami perubahan pada regulasinya, yaitu Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative.

          Maka atas dasar perubahan hukum berupa Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative merupakan perwujudan yang menghendaki adanya penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan beraspek kemanusiaan seperti pencurian yang nilai kerugiannya minim, Jaksa harus dapat menuntut atau bersikap dengan berpedoman kepada Keadilan Restorative. Perkembangan lain adalah bahwa dalam penegakan hukum tidak hanya menggunakan pendekatan preventif represif, namun juga dapat diambil pendekatan lainnya seperti Penyelesaian Sengketa Alternatif sebagaimana halnya Mediasi Penal. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary).  

          Mengacu pada regulasinya yaitu Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative pasal 3 butir 3 berbunyi[12]:

Penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan dengan ketentuan:

a.    Untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

b.    Telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restorative

Kemudian dilanjutkan dengan bunyi Pasal 3 Butir ke-4 dan bunyi Pasal 3 butir ke-5. Hal ini tentu saja mereperentasikan bahwa kejaksaan memiliki peran dalam Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restorative dengan memperlihatkan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi seperti penghindaran pembalasan; respon dan keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Kemudian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative dilakukan dengan mempertimbangkan: Subjek, objek, kategori, ancaman tindak pidana; latar belakang terjadinya tindak pidana; tingkat kecelakaan; kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana; penanganan perkara; dan adanya perdamaian antara korban dan tersangka.

          Sementara untuk perkara tindak pidana, dapat ditutupi demi hukum dan dihentikan penuntutan nya berdasarkan keadilan restorative dengan syarat:

a.       Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;

b.      tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan

c.       tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti

atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Dalam tahap penyidikan oleh kepolisian, penanganan perkara tindak pidana dengan melakukan pendekatan restorative sepatutnya berpedoman dengan SE Kapolri Nomor 8/2018 khususnya dalam menentukan materil dan syarat formil. Dalam syarat materilnya antara lain tidak menimbulkan keresahan dan penolakan dari masyarakat. Serta tidak berdampak konflik sosial. Sementara syarat formilnya antara lain Surat Pemohonan Perdamaian pelapor dan terlapor berupa Surat Pernyataan Perdamaian (Akte dading) dan penyelesaian perselisihan para pihak yang berpekara[13]. Namun Apabila dalam tahap mekanisme penerapan keadilan restorative tidak disetujui oleh salah satu pihak, maka penerapan keadilan restorative ini gagal. Dan dilanjutkan dalam tahap penuntutan oleh kejaksaan.

           Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Kejaksaan juga memiliki peran dalam mewujudkan keadilan restorative. Maka yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan adalah dengan mengacu pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative. Hal ini tercermin dari konsistensi kutipan Kejaksaan agung Melalui Bidang Pidana Umum yang menargetkan dalam tahun 2021 maksimal dapat menyelesaikan seribu perkara Pidana umum di seluruh indonesia melalui Keadilan Restorative. Dalam realitanya, Institusi Kejaksaan selama tahun 2020 telah menghentikan sebanyak 222 perkara dengan berdasarkan Prinsip Keadilan Restorative[14]. Hal ini tentu saja menandakan bahwa setelah kepolisian, Kejaksaan juga sebagai instansi penegak keadilan juga turut berperan dalam penangan perkara tindak pidana demi tercapainya entitas keadilan dalam artian sebagai dasar perbaikan hukum acara pidana yang bersifat humanis, transparan, dan akuntabel.

          Prinsip keadilan restorative (restorative justice) adalah salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan yang dilaksanakan secara terintegrasi artinya dilakukan secara berjenjang dari mulai tahap penyidikan (kepolisian), penuntutan (Kejaksaan) dan tahap peradilan (Mahkamah Agung). Dengan tujuan dapat diselesaikan di luar proses peradilan pidana atau yang dikenal dengan diversi yang mana penyelesaiannya melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

C.    Penutup

          Kejaksaan Republik Indonesia menjadi lembaga yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan yang dilakukan untuk keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dengan tetap menghargai nilai dan prinsip hukum dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan tugas penuntutan, maka penuntutan yang dilaksanakan Kejaksaan perlu diarahkan dalam rangka mengikuti re-orientasi pembaharuan hukum pidana, mempertimbangkan tingkat ketercelaan, sikap batin pelaku, kepentingan hukum yang dilindungi, kerugian atau akibat yang ditimbulkan, serta memperhatikan rasa keadilan masyarakat termasuk kearifan lokal.

          Sementara itu, demi mewujudkan keadilan restorative dalam implementasi penghentian penuntutan, perlu adanya upaya berupa:

1. Kesepahaman konsep keadilan restorative para Aparat Penegak Hukum (APH)

2. Koordinasi antar penegak hukum.

3. Dukungan infrastruktur (anggaran & sarpras).

4. Kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM).

          Dalam Pasal 2 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative menyatakan bahwa:

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative dilaksanakan dengan berasaskan:

1. Keadilan;

2. Kepentingan umum;

3. Proporsionalitas;

4. Pidana sebagai jalan terakhir; dan

5. Cepat, sederhana, dan biaya ringan. [15]

          Oleh karena itu Dalam rangka mengikuti re-orientasi pembaharuan hukum pidana, dengan diterbitkannya PERJA No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative tanggal 22 Juli 2020 diharapkan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum keadilan, dan kebenaran dalam masyarakat; bahwa penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restorative mampu menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana.

          Patut kita ketahui bahwa implementasi restorative justice tentu membutuhkan kreativitas kejaksaan (jaksa penuntut umum) untuk mengembangkan program-program restorative. Sehingga dapat meminimalisir penyelesaian perkara di pengadilan. Dalam konteks itu, kejaksaan dituntut untuk mendayagunakan atau membangun strategi-strategi atau pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada masalah (problem-oriented approach). Hal ini bukan persoalan mudah sebab menggeser paradigma kejaksaan yang selama ini dianggap sebagai "case processors" (pemroses kasus) menjadi ''problem solvers" (penyelesaian kasus), yang melibatkan masyarakat (community involvement)[16].

          Oleh karena itu, pendekatan atau konsep keadilan restorative (restorative justice) harus dilaksanakan secara terintegrasi antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Sebaliknya, apabila satu komponen tidak menjalankan pendekatan atau konsep keadilan restorative (restorative justice) maka pendekatan atau konsep keadilan restorative (restorative justice) itu sendiri tidak akan terealisasi dengan baik.

Daftar Pustaka

Buku

Priyono. Metode Penelitian Kuantitatif. Surabaya: Zifatama Publishing, 2008.

Peraturan Pundang-Undangan

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative

Naskah Akademik RUU RI Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Naskah Akademik RUU RI Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Surat Edaran Kapolri No. SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restorative (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana

Jurnal, makalah

Faizal Ahmad, Azhar. Penerapan Konsep Keadilan Restoratif (Restortive Justice) dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 4 No. 2 (2019),135: https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/mahkamah/article/view/4936

Syahrin, PENENTUAN FORUM YANG BERWENANG DAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL MENGGUNAKAN E-COMMERCE: STUDI KEPASTIAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL.  Jurnal Rechts Vinding Vol 7 No.2 (2018), 207-228: https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/download/240/189

 

Yuniar Arifianto. PENERAPAN RESTORATIF JUSTICE DALAM PENYELESAIAN KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS. Jurnal Hukum (2016), 19:  http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1437

Eva Achjani Zulfa. Mendefinisikan Keadilan Restoratif. Eva Achjani Zulfa, (2011):  http://evacentre.blog spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html

 

Budiyanto. Keeadilan Restorative (restorative Justice). Budi399.wordpress.com,(2019): https://budi399.wordpress.com/2019/04/01/keadilan-restoratif-restorative-justice/

 

Website

 

Ridwan Mansyur. Keadilan Restorative sebagai tujuan Pelaksanaan Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak.  PTUN-SEMARAN.GO.ID:

http://www.ptun-semarang.go.id/berita/artikel/108-keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-pelaksanaan-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak.html

 

 Fauzan M, Zarkasi. Keadilan Restorative: Barang lama, Kemasan Berbeda (Mengupas Pemikiran Priyadi). Ditjenpas.go.id, (2020):

            http://www.ditjenpas.go.id/keadilan-restoratif-barang-lama-kemasan-berbeda-mengupas-pemikiranpriyadi

Media Massa

Regina Dita. Urgensi Keadilan Restoratif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kumparan.com, (2020):

https://kumparan.com/reginadita/urgensi-keadilan-restoratif-dalam-rancangan-kitab-undang-undang-hukum-pidana-1ucUH76GVE9/full

 

Kejaksaan Hentikan 222 Perkara lewat Keadilan Restorative.  Hukumonline.com (2021):

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt601056e7ece43/kejaksaan-hentikan-222-perkara-lewat-keadilan-restoratif

 

 



[1] Ridwan Mansyur, “Keadilan Restorative sebagai tujuan Pelaksanaan Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak”, PTUN-SEMARAN.GO.ID, http://www.ptun-semarang.go.id/berita/artikel/108-keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-pelaksanaan-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak.html

[2] Budiyanto, “keadilan Restorative (restorative Justice), Budi399.wordpress.com,(2019): https://budi399.wordpress.com/2019/04/01/keadilan-restoratif-restorative-justice/

[3] M Fauzan Zarkasi, “Keadilan Restorative: Barang lama, Kemasan Berbeda (Mengupas Pemikiran Priyadi)”, ditjenpas.go.id, (2020): http://www.ditjenpas.go.id/keadilan-restoratif-barang-lama-kemasan-berbeda-mengupas-pemikiran-priyadi

[4] Ahmad Faizal Azhar, “Penerapan Konsep Keadilan Restoratif (Restortive Justice) dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Jurnal Kajian Hukum Islam 4 No. 2 (2019), 135: https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/mahkamah/article/view/4936

 

[5] Eva Achjani Zulfa, “Mendefinisikan Keadilan Restoratif”, Eva Achjani Zulfa, (2011):  http://evacentre.blog spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html

[6] Surat Edaran Kapolri No. SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restorative (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana

[7] Naskah Akademik RUU RI tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

[8] Priyono, Metode Penelitian Kuantitatif, (Surabaya: Zifatama Publishing, 2008), 37.

 

[9] Syahrin, “PENENTUAN FORUM YANG BERWENANG DAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL MENGGUNAKAN E-COMMERCE: STUDI KEPASTIAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL”, Jurnal Rechts Vinding 7 No.2 (2018), 207-228, https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/download/240/189

[10] Regina Dita, “Urgensi Keadilan Restoratif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Kumparan.com, (2020): https://kumparan.com/reginadita/urgensi-keadilan-restoratif-dalam-rancangan-kitab-undang-undang-hukum-pidana-1ucUH76GVE9/full

[11] Naskah Akademik RUU RI Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

[12] Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative Pasal 3 Butir 3

[13] Surat Edaran Kapolri No. SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restorative (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pasal 4

[14] “Kejaksaan Hentikan 222 Perkara lewat Keadilan Restorative”, Hukumonline.com (2021): https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt601056e7ece43/kejaksaan-hentikan-222-perkara-lewat-keadilan-restoratif

[15] Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Pasal 2

[16]Yuniar Arifianto, “PENERAPAN RESTORATIF JUSTICE DALAM PENYELESAIAN KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS”, Jurnal Hukum (2016):19, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1437

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEGALITAS MONEY POLITIK OLEH DPR, PENGERTIAN DAN NEGATIVE IMPACT BERLAKUNYA MONEY POLITIC

PENTINGNYA PENGESAHAN SERTIFIKASI APOSTILLE DI INDONESIA

PRO DAN KONTRA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA