LOMBA KARYA TULIS ILMIAH HARI BHAKTI ADHYAKSA KE 61 KEJAKSAAN TINGGI LAMPUN: PERAN KEJAKSAAN DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN RESTORATIF
NOMOR
PESERTA
00202612021
LOMBA
KARYA TULIS ILMIAH HARI BHAKTI ADHYAKSA KE 61 KEJAKSAAN TINGGI LAMPUNG
02
PERAN KEJAKSAAN DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN
RESTORATIF
Oleh:
Adinda Dwi
Prestiwi
Mahasiswa Fakultas
Hukum UIN Raden Intan Lampung
Jl. Pulau Tegal
No 5 Bandar Lampung 35131, Telp 085383448801
Email: adindadwiprestiwi@gmail.com
ABSTRAK
Penerapan keadilan restorative atau biasa
yang disebut (restorative justice) adalah penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku maupun korban dan
pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Sederhananya, ukuran keadilan tidak lagi hanya terpaku dengan keadilan
prosedural dalam hukum materil seperti halnya berdasarkan pembalasan setimpal
dari korban pada pelaku, tetapi perbuatan yang dilanggar tersebut dapat
diselesaikan dengan memberikan dukungan kepada korban, bahkan pelaku untuk
bertanggung jawab oleh keluarga dan masyarakat.
Lalu bagaimana penerapan pendekatan
keadilan restorative dalam institusi Kejaksaan yang berdampak dalam
penyelesaian kasus hukum di Indonesia. Maka, penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis mengenai peran kejaksaan dalam mewujudkan keadilan restorative di
Indonesia. Jenis penelitian in adalah yuridis normatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peran kejaksaan dalam mewujudkan Keadilan Restorative khususnya
dalam perkembangan keadilan turut bertransformasi seiring diterapkannya
pendekatan keadilan restorative dalam ranah pelaksanaan penanganan dan
penyelesaian perkara.
Kunci: penerapan, keadilan restorative,
Kejaksaan.
A. Latar
Belakang
Berdasarkan peraturan Kejaksaan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restorative merupakan transformasi paradigma pendekatan hukum yang
semula mengimplementasi keadilan retributive. Artinya Sistem Hukum Pidana
Indonesia telah memasuki babak baru dalam perkembangannya, salah satu bentuk
pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang
hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun
pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal
dengan keadilan restorative (restorative justice) yang berbeda
dengan keadilan retributive (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan
restitutive (menekankan keadilan pada ganti rugi). Munculnya ide
restorative justice sebagai kritik keras atas penerapan sistem keadilan dalam
peradilan pidana yang dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan konflik
sosial. Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat
pemidanaan modern, telah memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut
pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau “Doer-Victims” Relationship.
Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan
pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad-dader straftecht”.
Ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam penegakkan
HAM, bahwa ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum dalam
rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu segi struktur (structure),
substansi (substance) dan budaya (legal culture) yang kesemuanya
layak berjalan secara integral, simultan dan paralel.[1]
Prinsip pada Keadilan retributive
merupakan teori yang pertama kali muncul sebagai justifikasi atau alasan
pembenar dilakukannya sebuah pemidanaan. Dalam penerapan keadilan retributive
tersebut hanya berfokus pada penuntutan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku
lalu mendapatkan hukuman yang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan olehnya
tanpa adanya upaya keadilan bagi pelaku. Sementara prinsip pada pendekatan
keadilan restorative adalah lebih menitikberatkan pada adanya sebuah
partisipasi yang dilakukan oleh pihak pelaku, pihak korban, dan masyarakat dalam
proses penyelesaian perkara pidana. Atau sederhananya adalah pemulihan hubungan
antara pihak pelaku dan korban dalam perkara pidana.
Sementara
mengenai sejarah penerapan keadilan restorative, patut di ketahui bahwa sistem ini sudah di praktikan dipelbagai
masyarakat, sejak sebelum penyelesaian perkara pidana diambil alih atau di intervensi
oleh negara atau kelompok kepentingan yang berpengaruh. Dilihat dan konteks
sejarah, masyarakat telah mengenal mekanisme penyelesaian perkara dengan
pendekatan restorative justice sejak 40 abad yang lalu. Dalam Code Of Ur-Nammu,
Kitab Hukum tertua yang ditulis sekitar 2000 SM (Sebelum Masehi) di Sumeria.
Misalnya ditemukan kewajiban membayar ganti rugi kepada korban kejahatan
kekerasan. Pembayaran ganti rugi sebagai sanksi atas kejahatan harta benda juga
ditemukan dalam Code Of Hammurabi yang diperkirakan ditulis pada tahun 1700 SM
(Sebelum Masehi) di Babylon. [2]
Dignan
dalam karyanya Understanding and Restorative Justice mengungkapkan
istilah keadilan restorative berawal ketika Albert Eglash berupaya membedakan
tiga bentuk peradilan Pidana:
1.
Retributive
justice (Keadilan Retributive)
2.
Distributive
justice (Keadilan Distributive)
3. Restorative justice (Keadilan
Restorative)
Menurut Eglash, sasaran keadilan
retributive adalah penghukuman terhadap pelaku atas kejahatan yang dilakukan.
Adapun sasaran keadilan distributive adalah rehabilitasi para pelaku kejahatan.
Sementara itu, keadilan restorative merupakan prinsip restitusi dengan melibatkan
korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan mengamankan reparasi bagi korban
dan rehabilitasi pelaku. Kerangka historis keadilan restorative di
latarbelakangi ketidakpuasan atas implementasi sistem peradilan pidana pada
pertengahan tahun 1970 yang bersifat retributive karena dianggap kurang memberi
manfaat terhadap korban, pelaku, dan masyarakat. Beberapa kelompok aktivis
sistem peradilan pidana yang tersebar di Amerika Utara dan Eropa kemudian
berupaya mengadakan gerakan reformasi sistem pemidanaan secara terorganisasi.
Hingga tahun 1974, terinisiasi Victim-Offender Reconciliation
Program (VORP) di Ontario, Kanada, yang di indikasi sebagai gerakan
awal konsep keadilan restorative. Program
yang semula ditujukan kepada pelaku tindak pidana Anak dalam bentuk ganti
kerugian kepada korban ternyata memperoleh tingkat kepuasan yang cukup tinggi
dari korban, pelaku, maupun masyarakat. Prestasi ini mendorong lahirnya program
serupa di kawasan Eropa dan Amerika Utara. Seiring berjalannya waktu, derivasi
dari konsep keadilan restorative berkembang menjadi beberapa jenis pendekatan.
Dalam buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana karya Eddy O.S. Hiariej setidaknya
tercatat lima pola implementasi sistem peradilan pidana yang di klaim berpedoman
pada keadilan restorative. Pendekatan pertama, court-based restitutive
and reparative measures. Konsep ini diusung para pendukung “civilization
thesis” di Inggris melalui tuntutan ganti kerugian oleh pelaku sebagai
bentuk reparasi terhadap korban.[3]
Satjipto
Raharjo menyatakan bahwa penyelesaian perkara melalui sistem peradilan yang
berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum (law
enforcement) ke arah jalur lambat. Hal ini dikarenakan penegakan hukum itu
melalui jarak tempuh yang panjang, melalui berbagai tingkatan mulai dari
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi bahkan sampai ke
Mahkamah Agung yang pada akhirnya berdampak pada penumpukan perkara yang
jumlahnya tidak sedikit di pengadilan. Sehingga menyebabkan sistem peradilan
pidana kurang maksimal dalam implementasinya. Selain itu, keadilan yang
diharapkan melalui jalan formal ternyata belum tentu mencerminkan rasa
keadilan, karena bersifat mahal, berkepanjangan, melelahkan dan tidak
menyelesaikan masalah serta yang lebih parah lagi adalah di dalamnya penuh
dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Yang membuat hukum indonesia di
anggap tidak mempunyai jiwa keadilan[4]. Oleh karena itu banyak
terminologi yang digunakan untuk menggambarkan konsep keadilan restorative baik
dalam perspektif pada kepolisian, serta kejaksaan. Seperti communitarian
justice (keadilan komunitarian), positive justice (keadilan positif),
relational justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan
reparative), dan community justice (keadilan masyarakat).[5]
Dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia bermula pada keputusan Dirjen Badan
Peradilan Umum Mahkamah Agung yang mengatur penerapan keadilan restorative
dalam penanganan perkara tindak pidana ringan, perempuan yang berhadapan dengan
hukum, anak dan narkotika di Pengadilan Negeri. Keadilan restorative pertama
kali diterapkan pada sistem peradilan pidana anak yaitu Undang- Undang Nomor 3
Tahun 1997 diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dimana
terdapat perubahan fundamental sebagai upaya mengatasi kelemahan Undang-Undang
Nomor 3 tahun 1997. Perubahan fundamental berupa adanya pendekatan keadilan
restorative dengan melalui sistem diversi (Pengalihan penyelesaian perkara dari
proses peradilan ke proses diluar peradilan pidana).
Selanjutnya
adalah institusi Kepolisian melalui SE Kapolri No. SE/8/VII/2018 tentang
Penerapan Keadilan Restorative (Restorative Justice) dalam Penyelesaian
Perkara Pidana yang disahkan pada tanggal 27 Juli 2018 lalu[6]. Dan dalam Penyelesaian
Perkara Pidana yaitu Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019. Model penyelesaian
perkara dengan menggunakan keadilan restorative adalah sebagai upaya untuk
mengembalikan keseimbangan, dengan membebani kewajiban terhadap pelaku kejahatan
dengan kesadarannya mengakui kesalahan, meminta maaf, dan mengembalikan
kerusakan dan kerugian korban seperti semula.
Terakhir
adalah institusi Kejaksaan. Seiring adanya lini perubahan berupa Peraturan
Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restorative, menekankan adanya pembaharuan dalam paradigma
penegakan hukum yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Akibatnya terjadi
sebuah pergeseran dalam paradigma penegakan hukum, yang semula adalah Keadilan
Retributive (Pembalasan) bergeser menjadi keadilan Restorative.[7]
Hal ini
tergambar dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang mengedepankan
paradigma tersebut seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang terakhir
diubah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang mana Kejaksaan diberikan
peran untuk menggunakan dan mengedepankan Keadilan Restorative. Rasa keadilan
masyarakat saat ini menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan
beraspek kemanusiaan seperti pencurian yang nilai kerugiannya minim, Jaksa
harus dapat menuntut atau bersikap dengan berpedoman kepada Keadilan Restorative.
Perkembangan lain adalah bahwa dalam penegakan hukum tidak hanya menggunakan
pendekatan preventif represif, namun juga dapat diambil pendekatan lainnya
seperti Penyelesaian Sengketa Alternatif sebagaimana halnya Mediasi Penal. Hal
tersebut merupakan salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan
(prosecutorial discretionary).
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dikaji dalam
penelitian ini adalah:
Bagaimana Peran Kejaksaan dalam
mewujudkan Keadilan Restorative?
Metode Penelitian
Adapun focus dari penelitian ini
adalah dengan (library research),
yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari
buku-buku, undang-undang yang yurisdiksi berkaitan jurnal penelitian.
Artikel-artikel, jurnal, makalah, media massa, serta bahan-bahan lainnya yang
ada kaitannya dengan masalah yang diangkat. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan
kesesuaian pada judul penelitian. Dan menggunakan metode yuridis normatif yang
bersifat deskriptif analisis. Adapun pengertian
dari deskriptif analis ini ialah memberikan gambaran yang lebih detail mengenai
suatu gejala atau fenomena[8]. Penulis
beranggapan bahwa penelitian besifat deskriptif analis ini lebih efektif dalam
memaparkan atau menggambarkan mengenai segala suatu data. Upaya ini dilakukan
dengan mengkaji nya, lalu di konstelasikan.
B. Pembahasan
Mengacu
pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative merupakan transformasi
adanya pranata baru sistem peradilan khususnya dalam penegakan hukum berupa
sistem perkara pidana dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restorative.
Dalam
praktiknya pada sistem peradilan, keadilan restorative digunakan dalam
menyelesaikan perkara pidana dengan cara mengalihkan penyelesaian perkara dari
proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Artinya keadilan
restorative tidak berorientasi pada penjatuhan hukuman melainkan berfokus pada
pemberian bagi korban berupa mendapatkan restitusi, reparasi, rasa aman bagi
korban, yang memungkinkan pelaku untuk memahami sebab dan akibat perilakunya
bertanggung jawab dengan cara yang berarti, serta memungkinkan masyarakat untuk
memahami sebab utama terjadinya kejahatan, untuk memungkinkan masyarakat dan
mencegah kejahatan. Sementara itu keadilan restorative dapat terwujud melalui
mediasi antara korban dan keluarga pelaku, dan pelayanan di masyarakat yang
bersifat pemulihan bagi korban maupun pelaku.
Ciri-ciri
serta karakteristik paradigma peradilan restorative yang tidak saja berdimensi
tunggal pengendalian pelaku, melainkan berdimensi tiga sekaligus, yaitu korban,
pelaku dan masyarakat, sementara kepentingan negara diwakili oleh peran dari
lembaga peradilannya sendiri.[9]
Dalam
hukum materil nya, Melalui Buku I RKUHP dapat diketahui bahwa RKUHP menganut
konsep rechterlijke pardon atau pemaafan hakim sebagaimana tertuang dalam
Pasal 54 dimana hakim dengan alasan yang telah ditentukan seperti ringannya
perbuatan, keadaan pribadi, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau
yang terjadi kemudian dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk tidak
menjatuhkan sanksi pidana atau mengenakan tindakan kepada pelaku dengan
mempertimbangkan aspek keadilan dan kemanusiaan. RKUHP juga mendesain sanksi
pidana dari yang ringan ke yang paling berat. Hal ini menandakan bahwa RKUHP
mencoba mengakomodasi prinsip keadilan restorative dengan membuka kemungkinan
bahwa pidana berat adalah upaya terakhir yang ditempuh. Salah satunya
dibuktikan dalam Pasal 70 RKUHP yang mengalternatifkan pidana penjara dengan
pidana denda, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial karena kondisi
tertentu yang salah satunya apabila terdakwa telah membayar ganti kerugian
kepada korban[10]
Sementara
itu pendekatan keadilan restorative dalam Sistem peradilan pidana (Criminal
justice system) atau interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang
terlibat dalam proses peradilan pidana, menunjukkan cara kerja dalam
menanggulangi tindak kejahatan dengan berdasarkan pendekatan sistematis yang di
dalam nya terdapat bagian-bagian yang merupakan subsistem antara lain: Instansi
Kepolisian, Instansi Kejaksaan, Lembaga Peradilan dan Lembaga Koreksi (Lembaga
Pemasyarakatan). Instansi kepolisian dan kejaksaan inilah yang diberi peran
dalam menerapkan keadilan restorative yang mempunyai tujuan-tujuan antara lain
tujuan jangka pendek yaitu memasyarakatkan kembali pelaku tindak pidana, tujuan
jangka menengah yaitu mencegah terjadinya kejahatan, dan tujuan jangka
panjangnya adalah untuk kesejahteraan sosial dengan cara mediasi dimana mengalihkan
penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan
pidana.
Kejaksaan
sendiri merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam
bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Hal sesuai
dengan rumusan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan Republik
Indonesia, Pasal 2 ayat 1.
Kejaksaan
sebagai aparatur penegak hukum dalam pengendali proses perkara (Dominus Litis),
mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan
atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan
satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena
itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam
menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah
yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Mengacu pada undang-undang tersebut, maka
pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan
secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Kejaksaan, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. [11]
Artinya,
bahwa dalam melaksanakan fungsi tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan
melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Dalam
formulasi payung hukumnya, Kejaksaan sendiri mengalami perubahan pada regulasinya,
yaitu Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative.
Maka
atas dasar perubahan hukum berupa Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative
merupakan perwujudan yang menghendaki adanya penanganan kasus-kasus yang
relatif ringan dan beraspek kemanusiaan seperti pencurian yang nilai
kerugiannya minim, Jaksa harus dapat menuntut atau bersikap dengan berpedoman
kepada Keadilan Restorative. Perkembangan lain adalah bahwa dalam penegakan
hukum tidak hanya menggunakan pendekatan preventif represif, namun juga dapat
diambil pendekatan lainnya seperti Penyelesaian Sengketa Alternatif sebagaimana
halnya Mediasi Penal. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan dari
diskresi penuntutan (prosecutorial discretionary).
Mengacu
pada regulasinya yaitu Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun
2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative pasal 3
butir 3 berbunyi[12]:
Penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan dengan ketentuan:
a. Untuk
tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. Telah
ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restorative
Kemudian dilanjutkan dengan bunyi Pasal 3
Butir ke-4 dan bunyi Pasal 3 butir ke-5. Hal ini tentu saja mereperentasikan
bahwa kejaksaan memiliki peran dalam Penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan Restorative dengan memperlihatkan kepentingan korban dan kepentingan
hukum lain yang dilindungi seperti penghindaran pembalasan; respon dan keharmonisan
masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Kemudian penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restorative dilakukan dengan mempertimbangkan:
Subjek, objek, kategori, ancaman tindak pidana; latar belakang terjadinya
tindak pidana; tingkat kecelakaan; kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari
tindak pidana; penanganan perkara; dan adanya perdamaian antara korban dan
tersangka.
Sementara
untuk perkara tindak pidana, dapat ditutupi demi hukum dan dihentikan penuntutan
nya berdasarkan keadilan restorative dengan syarat:
a. Tersangka
baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. tindak
pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara
tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak
pidana dilakukan dengan nilai barang bukti
atau nilai kerugian yang ditimbulkan
akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu rupiah).
Dalam tahap penyidikan oleh kepolisian, penanganan
perkara tindak pidana dengan melakukan pendekatan restorative sepatutnya berpedoman
dengan SE Kapolri Nomor 8/2018 khususnya dalam menentukan materil dan syarat
formil. Dalam syarat materilnya antara lain tidak menimbulkan keresahan dan
penolakan dari masyarakat. Serta tidak berdampak konflik sosial. Sementara syarat
formilnya antara lain Surat Pemohonan Perdamaian pelapor dan terlapor berupa
Surat Pernyataan Perdamaian (Akte dading) dan penyelesaian perselisihan para
pihak yang berpekara[13].
Namun Apabila dalam tahap mekanisme penerapan keadilan restorative tidak disetujui
oleh salah satu pihak, maka penerapan keadilan restorative ini gagal. Dan dilanjutkan
dalam tahap penuntutan oleh kejaksaan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Kejaksaan juga
memiliki peran dalam mewujudkan keadilan restorative. Maka yang dapat dilakukan
oleh Kejaksaan adalah dengan mengacu pada Peraturan Kejaksaan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restorative. Hal ini tercermin dari konsistensi kutipan Kejaksaan
agung Melalui Bidang Pidana Umum yang menargetkan dalam tahun 2021 maksimal
dapat menyelesaikan seribu perkara Pidana umum di seluruh indonesia melalui
Keadilan Restorative. Dalam realitanya, Institusi Kejaksaan selama tahun 2020
telah menghentikan sebanyak 222 perkara dengan berdasarkan Prinsip Keadilan
Restorative[14]. Hal
ini tentu saja menandakan bahwa setelah kepolisian, Kejaksaan juga sebagai
instansi penegak keadilan juga turut berperan dalam penangan perkara tindak
pidana demi tercapainya entitas keadilan dalam artian sebagai dasar perbaikan
hukum acara pidana yang bersifat humanis, transparan, dan akuntabel.
Prinsip
keadilan restorative (restorative justice) adalah salah satu prinsip penegakan
hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan yang
dilaksanakan secara terintegrasi artinya dilakukan secara berjenjang dari mulai
tahap penyidikan (kepolisian), penuntutan (Kejaksaan) dan tahap peradilan
(Mahkamah Agung). Dengan tujuan dapat diselesaikan di luar proses peradilan
pidana atau yang dikenal dengan diversi yang mana penyelesaiannya melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk
bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula.
C.
Penutup
Kejaksaan
Republik Indonesia menjadi lembaga yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang
penuntutan yang dilakukan untuk keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum
dengan tetap menghargai nilai dan prinsip hukum dalam peraturan
perundang-undangan. Sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan tugas
penuntutan, maka penuntutan yang dilaksanakan Kejaksaan perlu diarahkan dalam
rangka mengikuti re-orientasi pembaharuan hukum pidana, mempertimbangkan
tingkat ketercelaan, sikap batin pelaku, kepentingan hukum yang dilindungi,
kerugian atau akibat yang ditimbulkan, serta memperhatikan rasa keadilan
masyarakat termasuk kearifan lokal.
Sementara
itu, demi mewujudkan keadilan restorative dalam implementasi penghentian penuntutan,
perlu adanya upaya berupa:
1. Kesepahaman
konsep keadilan restorative para Aparat Penegak Hukum (APH)
2. Koordinasi
antar penegak hukum.
3. Dukungan
infrastruktur (anggaran & sarpras).
4. Kesiapan
Sumber Daya Manusia (SDM).
Dalam
Pasal 2 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative menyatakan bahwa:
Penghentian penuntutan berdasarkan
keadilan restorative dilaksanakan dengan berasaskan:
1. Keadilan;
2. Kepentingan
umum;
3. Proporsionalitas;
4. Pidana
sebagai jalan terakhir; dan
5. Cepat,
sederhana, dan biaya ringan. [15]
Oleh
karena itu Dalam rangka mengikuti re-orientasi pembaharuan hukum pidana, dengan
diterbitkannya PERJA No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restorative tanggal 22 Juli 2020 diharapkan Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban
hukum keadilan, dan kebenaran dalam masyarakat; bahwa penyelesaian perkara
tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restorative mampu menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan
kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada
pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang
harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem
peradilan pidana.
Patut
kita ketahui bahwa implementasi restorative justice tentu membutuhkan
kreativitas kejaksaan (jaksa penuntut umum) untuk mengembangkan program-program
restorative. Sehingga dapat meminimalisir penyelesaian perkara di pengadilan. Dalam
konteks itu, kejaksaan dituntut untuk mendayagunakan atau membangun
strategi-strategi atau pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada masalah (problem-oriented
approach). Hal ini bukan persoalan mudah sebab menggeser paradigma
kejaksaan yang selama ini dianggap sebagai "case processors"
(pemroses kasus) menjadi ''problem solvers" (penyelesaian kasus),
yang melibatkan masyarakat (community involvement)[16].
Oleh
karena itu, pendekatan atau konsep keadilan restorative (restorative justice)
harus dilaksanakan secara terintegrasi antara komponen yang satu dengan
komponen yang lainnya. Sebaliknya, apabila satu komponen tidak menjalankan
pendekatan atau konsep keadilan restorative (restorative justice) maka
pendekatan atau konsep keadilan restorative (restorative justice) itu sendiri
tidak akan terealisasi dengan baik.
Daftar Pustaka
Buku
Priyono.
Metode Penelitian Kuantitatif. Surabaya: Zifatama Publishing, 2008.
Peraturan
Pundang-Undangan
Peraturan Kejaksaan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restorative
Naskah Akademik RUU RI Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
Naskah Akademik RUU RI Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
Surat Edaran Kapolri No.
SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restorative (Restorative Justice)
dalam Penyelesaian Perkara Pidana
Jurnal, makalah
Faizal Ahmad, Azhar. Penerapan Konsep Keadilan
Restoratif (Restortive Justice) dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 4 No. 2 (2019),135: https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/mahkamah/article/view/4936
Syahrin, PENENTUAN FORUM YANG BERWENANG DAN MODEL
PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL MENGGUNAKAN E-COMMERCE:
STUDI KEPASTIAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL. Jurnal Rechts Vinding Vol 7 No.2 (2018),
207-228: https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/download/240/189
Yuniar Arifianto. PENERAPAN RESTORATIF JUSTICE
DALAM PENYELESAIAN KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS. Jurnal Hukum (2016), 19: http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1437
Eva Achjani Zulfa.
Mendefinisikan Keadilan Restoratif. Eva Achjani Zulfa, (2011): http://evacentre.blog
spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html
Budiyanto. Keeadilan
Restorative (restorative Justice). Budi399.wordpress.com,(2019): https://budi399.wordpress.com/2019/04/01/keadilan-restoratif-restorative-justice/
Website
Ridwan Mansyur. Keadilan
Restorative sebagai tujuan Pelaksanaan Diversi pada Sistem Peradilan Pidana
Anak. PTUN-SEMARAN.GO.ID:
Fauzan M,
Zarkasi. Keadilan Restorative: Barang lama, Kemasan Berbeda (Mengupas
Pemikiran Priyadi). Ditjenpas.go.id, (2020):
http://www.ditjenpas.go.id/keadilan-restoratif-barang-lama-kemasan-berbeda-mengupas-pemikiranpriyadi
Media Massa
Regina Dita. Urgensi
Keadilan Restoratif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kumparan.com,
(2020):
Kejaksaan Hentikan
222 Perkara lewat Keadilan Restorative. Hukumonline.com
(2021):
[1] Ridwan Mansyur, “Keadilan
Restorative sebagai tujuan Pelaksanaan Diversi pada Sistem Peradilan Pidana
Anak”, PTUN-SEMARAN.GO.ID, http://www.ptun-semarang.go.id/berita/artikel/108-keadilan-restoratif-sebagai-tujuan-pelaksanaan-diversi-pada-sistem-peradilan-pidana-anak.html
[2] Budiyanto, “keadilan Restorative
(restorative Justice), Budi399.wordpress.com,(2019): https://budi399.wordpress.com/2019/04/01/keadilan-restoratif-restorative-justice/
[3] M Fauzan Zarkasi, “Keadilan
Restorative: Barang lama, Kemasan Berbeda (Mengupas Pemikiran Priyadi)”,
ditjenpas.go.id, (2020): http://www.ditjenpas.go.id/keadilan-restoratif-barang-lama-kemasan-berbeda-mengupas-pemikiran-priyadi
[4] Ahmad Faizal Azhar, “Penerapan
Konsep Keadilan Restoratif (Restortive Justice) dalam Sistem Peradilan Pidana
di Indonesia”, Jurnal Kajian Hukum Islam 4 No. 2 (2019), 135:
https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/mahkamah/article/view/4936
[5] Eva Achjani Zulfa, “Mendefinisikan
Keadilan Restoratif”, Eva Achjani Zulfa, (2011): http://evacentre.blog spot.com/2009/11/definisi-keadilan-restoratif.html
[6] Surat Edaran Kapolri No.
SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restorative (Restorative Justice)
dalam Penyelesaian Perkara Pidana
[7] Naskah Akademik RUU RI tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
[8]
Priyono, Metode Penelitian Kuantitatif, (Surabaya: Zifatama Publishing,
2008), 37.
[9] Syahrin, “PENENTUAN FORUM YANG
BERWENANG DAN MODEL PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL
MENGGUNAKAN E-COMMERCE: STUDI KEPASTIAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL”,
Jurnal Rechts Vinding 7 No.2 (2018), 207-228, https://rechtsvinding.bphn.go.id/ejournal/index.php/jrv/article/download/240/189
[10] Regina Dita, “Urgensi Keadilan
Restoratif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Kumparan.com, (2020):
https://kumparan.com/reginadita/urgensi-keadilan-restoratif-dalam-rancangan-kitab-undang-undang-hukum-pidana-1ucUH76GVE9/full
[11] Naskah Akademik RUU RI Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
[12] Peraturan Kejaksaan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restorative Pasal 3 Butir 3
[13] Surat Edaran Kapolri No.
SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restorative (Restorative Justice)
dalam Penyelesaian Perkara Pidana Pasal 4
[14] “Kejaksaan Hentikan 222 Perkara
lewat Keadilan Restorative”, Hukumonline.com (2021): https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt601056e7ece43/kejaksaan-hentikan-222-perkara-lewat-keadilan-restoratif
[15] Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan
Restoratif Pasal 2
[16]Yuniar Arifianto, “PENERAPAN
RESTORATIF JUSTICE DALAM PENYELESAIAN KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS”, Jurnal
Hukum (2016):19, http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1437
Komentar
Posting Komentar