DIKALA PANDEMI, KORUPSI DIBAYAR PENJARA APAKAH SUDAH CUKUP ?





Legal Research

UKM-F MCC UIN Raden Intan Lampung 

Dimasa pandemi ini ketika kondisi sedang sulit-sulitnya, ekonomi sedang rendah-rendahnya, koruptor masih saja mencari celah. Ingat kasus Juliari Batubara mantan Menteri Sosial yang korupsi dana bantuan sosial? Kerugian negara yang diakibatkannya diduga mencapai 2 triliun rupiah. Atau kasus Pinangki yang walaupun tidak ada hubungannya dengan pandemi, menyita perhatian banyak masyarakat karena hukumannya dikurangi dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara dengan alasan kemanusiaan? Pinangki adalah satu dari sekian banyak rendahnya vonis koruptor di Indonesia. Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2005 tren vonis pelaku korupsi, rata-rata tak pernah lebih dari tiga tahun penjara. Sepanjang rentang waktu Januari sampai dengan Juni tahun 2020 terdapat 1.008 persidangan korupsi dengan vonis rata rata sebagai berikut:


 

Pengadilan

Rata-Rata Vonis

1.

PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI

2 Tahun

11 Bulan

2.

PENGADILAN TINGGI (BANDING)

3 Tahun

6 Bulan

3.

MAHKAMAH AGUNG (KASASI/PK)

4 Tahun

8 Bulan



Sumber : Indonesia Corruption Watch

“Hasil Pemantauan Tren Vonis Persidangan Perkara

Korupsi Semester I Tahun 2020”





Data tersebut tentu sangat memprihatinkan ditengah gentingnya kondisi negara. Namun, fakta lain yang tak kalah lebih penting adalah pengenaan hukuman pokok berupa uang denda dan hukuman tambahan berupa uang pengganti dalam kasus tindak pidana korupsi pada prakteknya juga sangat memprihatinkan. Menurut data dari ICW selama tahun 2020 total denda yang dijatuhkan majelis hakim hanya berkisar Rp 102 M dan pengenaan uang pengganti hanya sebesar Rp 625 M, USD 128 Juta dan SGD 2 Juta. Padahal total kerugian keuangan negara dalam pantauan ICW pada semester pertama tahun 2020 mencapai Rp 39 Triliun. Yang lebih disayangkan lagi, 368 dari 475 terdakwa korupsi pada akhirnya lebih memilih untuk menjalani subsider kurungan penjara dengan rata-rata hukuman tidak lebih dari 12 bulan sebagai ganti dari pembayaran denda dan uang pengganti.


Penggantian denda dengan subsider kurungan dinilai tidak sebanding dengan kerugian ekonomi yang didapatkan. Karena dalam tindak pidana korupsi, selain hukuman pidana pokok, bentuk tanggung jawab koruptor dengan mengembalikan kerugian negara dalam bentuk materil juga harus dimaksimalkan apalagi di tengah pandemi seperti ini. Jika hukuman subsider diberlakukan dengan begitu mudah rasanya tidak cukup adil untuk masyarakat. Walaupun denda tidak bertujuan untuk mengganti kerugian, namun pemberian denda seharusnya dapat memberikan efek jera. Sayangnya, tujuan tersebut sering menjadi terbalik. Pemenjaraan yang diharapkan sebagai alat untuk memaksa koruptor membayar denda, dewasa ini malah menjadi pilihan yang meringankan bagi koruptor karena koruptor tidak perlu mengeluarkan harta mereka dengan menjalani hukuman subsider.


Lain halnya dengan hukuman uang pengganti yang bersifat memaksa yang telah diatur dalam PERMA Nomor 5 Tahun 2014. Dalam PERMA tersebut dijelaskan bahwa uang pengganti wajib dibayarkan oleh terpidana dan jika tidak maka Jaksa dapat menyita harta benda terpidana sebagai bentuk ganti kerugian. Dan jika harta benda terpidana tidak mencukupi untuk mengganti kerugian, maka dapat diganti dengan subside penjara. Berdasarkan aturan tersebut, menurut data dari ICW pengenaan uang pengganti pada awal 2019 hanya berkisar Rp 183 miliar sedangkan kerugian mencapai Rp 2132 triliun dan sisanya digantikan dengan hukuman subsider penjara.


Berdasarkan fakta-fakta diatas, implementasi dilapangan tidak berjalan sesuai dengan apa yang masyarakat harapkan. Hukuman penjara dinilai lebih dominan diterapkan daripada hukuman yang berorientasi kepada nilai ekonomi seperti denda dan uang pengganti yang justru dibutuhkan terutama dalam masa pandemi seperti ini. Walaupun dalam peraturan dan undang-undang yang ada bertujuan untuk menekankan pada aspek penggantian kerugian, namun pada nyatanya hukum formil masih terpaku kepada follow the suspect bukan follow the asset. Selain tidak memberikan manfaat secara ekonomis, hukuman penjara juga tidak memberikan efek jera bagi koruptor. Terlebih ketika vonis penjara pokok maupun penjara subsider yang diberikan teramat rendah. Hal tersebut dapat menimbulkan perspektif di masyarakat bahwa korupsi sebagai “Kejahatan Luar Biasa” nyatanya dalam penanganannya justru “biasa biasa saja”.

 

Referensi

"Hukuman Pinangki Disunat 6 Tahun, JPU Tidak Ajukan Kasasi". Merdeka.com. 5 Juli 2021. (https://www.merdeka.com/peristiwa/hukuman-pinangki-disunat-6-tahun-jpu-tidak-ajukan-kas)

“Hasil Pemantauan Tren Vonis Persidangan Perkara Korupsi Semester I Tahun 2020 “Mati Suri Pemberantasan Korupsi: Diskon Besar-Besaran Hukuman Koruptor” , Indonesia Corruption Watch.

 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEGALITAS MONEY POLITIK OLEH DPR, PENGERTIAN DAN NEGATIVE IMPACT BERLAKUNYA MONEY POLITIC

PENTINGNYA PENGESAHAN SERTIFIKASI APOSTILLE DI INDONESIA

PRO DAN KONTRA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA