PERAN DISSENTING OPINION HAKIM KONSTITUSI DALAM PEMBAHARUAN HUKUM NASIONAL

 

 

PERAN DISSENTING OPINION HAKIM KONSTITUSI DALAM PEMBAHARUAN HUKUM NASIONAL

 

            Pengertian

            Dissenting Opinion menurut Bagir Manan adalah pranata yang membenarkan perbedaan pendapat hakim (minoritas) atas putusan pengadilan. Sedangkan menurut Pontang Moerad, Dissenting Opinion merupakan opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.

Jadi, Dissenting Opinion merupakan pendapat atau putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju dengan pendapat mayoritas majelis hakim yang mengadili suatu perkara. Dissenting Opinion juga merupakan pendapat yang berbeda dengan apa yang diputuskan dan dikemukakan oleh satu atau lebih hakim yang memutus perkara, merupakan satu kesatuan dengan putusan itu, karena hakim itu kalah suara atau merupakan suara minoritas hakim dalam sebuah majelis hakim.

Hal di atas, dapat tersirat dan tersurat sebagaimana pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni "(1) Hakim dan hakim konstitusi harus menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam warga." Hal ini sebagai salah satu bangun arus hukum yang dapat dipakai oleh hakim untuk membentuk hukum, sedangkan pada Pasal 14, yakni "(3) Dalam hal sidang permusyawaratan tak dapat dicapai mufakat bulat, argumen hakim yang berlainan harus dimuat dalam putusan." Hal ini sebagai bangun pengakuan bahwa hakim itu independen dan sebagai corak dari sistem hukum Common Law.[1]

            Landasan Hukum Dissenting Opinion

Sistem hukum Indonesia tergolong baru mengenal dan mempraktikan Dissenting Opinion, karena sebelumnya hal tersebut tidak dikenal dan tidak diatur dalam sistem hukum Indonesia. Bahkan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, tidak mengatur Dissenting Opinion. Justru baru dalam Undang- undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur masalah Dissenting Opinion (Pasal 19), sekarang Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 telah diganti dengan Undang-undang Nomor 48 tahun2009.

Demikian pula dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, tidak mengatur Dissenting Opinion, akan tetapi dalam Undang- undang penggantinya, yakni Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 diatur


ketentuan mengenai Dissenting Opinion (Pasal 30) selanjutnya diganti dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Dengan demikian masalah Dissenting Opinion merupakan hal baru dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia, yang tentunya merupakan langkah maju yang sangat berarti dalam sistem hukum Indonesia. Bertolak dari beberapa instrumen hukum dan perundangan sebelumnya, maka jelas sekali sistem hukum di Indonesia belum mengatur Dissenting Opinion, seperti tampak dalam Undang- undang Nomor 14 tahun 1970. Dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 disebutkan antara lainnya bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia ” (Pasal 1).

Pasal 19 ayat 5 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 menyatakan bahwa “Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan”. Inilah ketentuan tentang Dissenting Opinion (beda pendapat) hakim dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, yang tidak diatur dalam perundangan sebelumnya yakni Undang-undang Nomor14 tahun 1970 sebagaimana dirubah oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 1999.

Hal yang sama juga ditemukan dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, karena tidak mengatur perihal Dissenting Opinion. Baru berdasarkan pada Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, diakui dan diatur Dissenting Opinion sebagaimana yang disebutkan bahwa “Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan” (Pasal 30 ayat 3).

Dari Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian yaitu kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judicial.

Majelis hakim yang menangani suatu perkara menurut kebiasaan dalam hukum acara adalah berjumlah 3 (tiga) orang, dari ketiga orang anggota majelis hakim ini apabila dalam musyawarah menjelang pengambilan putusan terdapat perbedaan pendapat diantara satu sama lain maka putusan akan diambil dengan jalan voting atau putusan diambil dengan suara terbanyak.

Sedangkan bagi hakim anggota yang kalah suara dalam menentukan putusan, dirinya harus menerima pendapat mayoritas majelis hakim dan dapat menuliskan pendapatnya yang berbeda dengan putusan. Adanya Dissenting Opinion membuat masyarakat dapat mengetahui latar belakang lahirnya putusan. Masyarakat juga dapat menilai kualitas hakim dari perbedaan pendapat tersebut, terutama untuk mengetahui hakim mana yang lebih mendengar rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Dissenting Opinion merupakan pendapat/putusan yang ditulis oleh seorang hakim atau lebih yang tidak setuju (disagree) dengan pendapat mayoritas majelishakim.

Dissenting Opinion yang memuat ketidak setujuan pendapat kadang- kadang dapat disebut terdiri dalam beberapa bagian pendapat yang dimungkinkan karena adanya sejumlah alasan, interpretasi yang berbeda dari kasus hukum, atau interpretasi yang berbeda dari fakta-fakta dan penggunaan prinsip-prinsip yangberbeda.

Oleh karenanya perlu dimuat standar pencantuman Dissenting Opinion, standard tersebut berupa sistematika Dissenting Opinion yang memuat pertimbangan hukum terkait perkara yang diperiksa. Selain itu hakim yang memuat pendapat berbeda juga harus menandatangani pendapattersebut.

Selanjutnya pendapat yang berbeda tersebut dipublikasikan. Posisi Dissenting Opinion Dalam Putusan Terkait posisi Dissenting Opinion sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam putusan. Hakim yang menyertakan Dissenting Opinion wajib menandatangani putusan hasil musyawarah majelis hakim sebagai putusan final, hal ini sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa penerapan Dissenting Opinion pada dasarnya tidak menyebabkan terjadinya perpecahan pandangan majelis hakim. Artinya, putusan pengadilan hasil musyawarah hakim merupakan putusan final yang memiliki kekuatan mengikat, sementara Dissenting Opinion dapat dipandang sebagai bagian dari putusan yang timbul sebagai akibat dari upaya penemuan kebenaran materil.

 

 

                        Perkembangan Dissenting Opinion di Mahkamah Konstitusi

 

Paradigma berhukum menitikberatkan mengenai bagaimana seorang hakim dapat menemukan keadilan substantif dengan cara memberikan perlakuan yang adil terhadap hak dan kewajiban. Hal ini dapat ditempuh apabila hakim memiliki kebebasan dalam menilai dan menafsirkan yang seringkali diasosiasikan dengan istilah aktivitas judisial hakim (judicial activism).Brian Galligan dalam (Judith Bannister) mendefinisikan judicial activism sebagai kontrol atau pengaruh oleh lembaga peradilan terhadap institusi politik dan administratif.[2]

Aktivitas yudisial yaitu seorang hakim membuka ruang bagi suatu penafsiran yang berbeda antara satu hakim dengan hakim lainnya. Perbedaan pendapat atau dissenting opinion ini merupakan praktik yang secara alamiah berkembang pada negara common-law, kemudian diadopsi pada negara-negara yang mulai melihat dissenting opinion sebagai bentuk peneguhan institusi pengadilan yang merdeka. Hakim diberikan kewenangan untuk menafsirkan secara tersendiri suatu perkara, kendati tetap terikat oleh prinsip, asas dan peraturan yang berlaku.

Secara eksplisit, tidak ada pengaturan tentang dissenting opinion dalam UU Mahkamah Konstitusi. Frase yang dipakai adalah “pendapat anggota majelis hakim yang berbeda”. Pendapat yang berbeda menurut Jimly, dibedakan menjadi dua yaitu dissenting opinion dan concurrent opinion atau consenting opinion.[3]Suatu putusan dianggap sebagai concurring apabila terdapat argumentasi anggota majelis hakim yang berbeda dengan mayoritas anggota majelis hakim yang lain namun tidak berimbas pada perbedaanamar putusan. Di sisi lain, suatu putusan dikatakan dissenting jika pendapat suatu anggota majelis hakim berbeda dengan pendapat mayoritas anggota majelis hakim yang lain dan perbedaan tersebut tak sekedar dalam hal penalaran saja, melainkan sampai menyentuh pada amar putusan.

Penyampaian dissenting opinion dalam suatu putusan oleh hakim konstitusi telah menjadi praktik yang jamak dilakukan sejak permulaan MK berdiri. Secara kelembagaan, MK sendiri merupakan suatu kemajuan bagi kelangsungan hukum bangsa Indonesia.[4]Awalnya, terdapat kekhawatiran bahwa pengumuman dissenting opinion secara terbuka dalam suatu putusan akan memperlihatkan bahwa putusan tidak memiliki otoritas dan argumentasi yang kuat atau setidak-tidaknya menunjukan adanya ketidakstabilan putusan yang dikeluarkan. Akan tetapi, dalam perjalanan waktu, praktik pemuatan alasan dan pendapat berbeda tersebut justru dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah karena adanya transparansi dan peningkatan legitimasi serta akuntabilitas putusan yang dikeluarkan. Selain itu, pendapat berbeda pada umumnya dapat menjadi basis bagi penajaman dan perubahan hukum ataupun putusan di masa mendatang.[5]

Praktik dissenting opinion berkembang secara signifikan di MK. Sejak kehadirannya tahun 2003, dissenting opinion telah menjadi bagian dari pilihan hakim dalam memutus perkara.Simon Butt menjelaskan bahwa dissenting opinion di Indonesia terbagi menjadi dua kategori besar sesuai dengan periode kepemimpinan: Tahun 2004-2008 adalah periode awal MK yang dipimpin oleh hakim Jimly Asshiddiqie, dengan dissenting opinion yang gemuk, yaitu berjumlah 54 dissenting opinion dari 153 putusan MK. Periode ini diisi oleh hakim konstitusi yang cenderung menganut aliran progresif. Sedangkan periode 2009-seterusnya, adalah periode yang mengalami penurunan dari segi jumlah dissenting opinion, meskipun jumlah putusan yang dikeluarkan MK terus bertambah.[6]

Kendati dissenting opinion MK cenderung berkurang akhir-akhir ini, namun kemerdekaan hakim konstitusi dalam menyampaikan pendapatnya yang tetap dipertahankan, memberikan kepastian bahwa dalam setiap putusan MK, selalu berpotensi ada hakim konstitusi yang mengajukan dissenting opinion. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh dissenting opinion tidak bergantung dari banyaknya hakim yang mengajukan, melainkan dari argumentasi yang dibangun oleh hakim tersebut untuk perkembangan hukum kedepannya.

 

                        Peran Dissenting Opinion dalam Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi

 

Alder, menjelaskan mengenai lima fungsi utama dari dissenting opinion, yaitu:

(1) untuk memastikan bahwa semua anggota panel hakim diperlakukan sama, tanpa ada sudut pandang yang ditekan; (2) untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap peradilan dengan mempertajam alasan mayoritas, memastikan bahwa keputusan sepenuhnya dipertimbangkan dan bahwa masing-masing pembuat keputusan yang bertanggung jawab; (3) untuk mewujudkan nilai-nilai kebebasan berekspresi dan hati nurani sebagai nilai yang prinsipal; (4) untuk mengekspos kelemahan dalam proposisi hukum mayoritas; dan (5) dan memberi fokus pada publik untuk memperjelas pemahamannya mengenai masalah tersebut.[7]

 

Apabila dilihat dari fungsinya, dissenting opinion ini dapat memberikan dua hal, yaitu: Pertama, dissenting opinion memberikan keyakinan kepada para pihak yang terkait, bahwa posisi dan kepentingan mereka telah dipertimbangkan secara layak.Demikian halnya pada perkara yang melibatkan antara negara dengan warga negara, hakim tidak mungkin hanya mempertimbangkan kepentingan negara, melainkan juga kepentingan dari warga negaranya.Kedua, bahwa semua hakim berperan dalam memberikan argumentasi hukumnya dalam memutus perkara. Dissenting opinion tidak dibuat berdasarkan suatu pandangan dari keputusan mayoritas, melainkan pemikiran yang mendalam dari setiap hakimnya. Dissenting opinion memberikan triangulasi yang lebih ketat dari hukum itu sendiri. Karena hukum adalah sistem yang terus bergerak (law is a system in motion), sehingga dissenting opinion ini akan memberikan suatu gambaran kemana hukum itu akan mengarah kedepannya.

 

Pada kasus dimana MK sulit terhindar dari pengaruh politik pemerintah, seperti di Makedonia, dissenting opinion adalah instrumen untuk meneguhkan perlindungan konstitusinal bagi warga negaranya, sekaligus alat untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah. Sonja Stojadinovic menjelaskan mengenai kondisi dissenting opinion pada Mahkamah Konstitusi Makedonia periode 2012-2015, yang dalam analisanya menyebutkan bahwa banyak putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial, seperti menolak perlindungan hak dan kebebasan berekspresi bagi jurnalis, dan bahkan disebut sebagai “the last sanctuary from the corruption and criminal plaguing the state institutions”(tempat perlindungan terakhir dari korupsi dan kriminal yang mengganggu lembaga-lembaga negara).Dissenting opinion inilah yang membuat publik masih menaruh kepercayaan pada Mahkamah Konstitusi. Bahwa apa yang diucapkan oleh hakim yang disenter, dapat menjadi pelajaran berharga bagi perbaikan Mahkamah Konstitusi kedepannya.[8]

Dalam kaitannya dengan kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai “the guardian of the constitution”, yang berwenang untuk menafsirkan konstitusi pada persoalan yang terkadang berkaitan dengan jaminan atas hak konstitusional warga negara, orang-orang khawatir apakah dissenting opinion ini dapat menghilangkan kepercayaan publik, karena putusan diambil tidak dalam keputusan bersama. Padahal, dissenting opinion merupakan bukti pengadilan telah menjalankan akuntabilitas yudisial yang kuat, meneguhkan prinsip pengadilan yang terbuka, serta meningkatkan partisipasi publik dalam menilai suatu putusan. Publik perlu menilai suatu putusan pengadilan untuk menghindari “judicial autocracy” dan “the arbitrary exercise of judicial power” yang berbahaya bagi kelangsungan sistem peradilan. Penilaian publik justru menjadi stimulan yang efektif agar pengadilan dapat menghindari kesalahan, dan karenanya dapat meningkatkan integritas hakim itu sendiri.

 

                        Dissenting Opinion sebagai Referensi Hakim Konstitusi

 

Heather K. Gerken dalam “Dissenting by Deciding” menyebutkan bahwa dissenting opinion yang dimuat dalam putusan pengadilan terlihat lebih radikal apabila dibandingkan dengan sebelumnya yang bersifat moderat/tertutup (hanya diketahui oleh para hakim pada saat melakukan pemeriksaan). Hal ini dikarenakan hakim disenter dapat menggunakan instrumen ini untuk mengekspresikan ketidaksepakatannya dengan pendapat mayoritas. Gerken menjelaskan bahwa dissenting opinion akan meningkatkan persepsi sistem peradilan yang demokratis. Dissenting opinion akan memungkinkan masyarakat untuk menguji keakuratan dari putusan pengadilan tersebut.

Dissenting opinion tidak hanya meneguhkan independensi hakim, melainkan juga memainkan peran dalam pengembangan hukum. Dissenting opinion bukan untuk menunjukan “self- expression” dari hakim, melainkan berdasarkan pada argumentasi dan alasan hukum yang konkret. Dissenting opinion memberikan kontribusi untuk meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat; menjamin persidangan yang adil dan terbuka; berkontribusi kepada publik debat tentang hukum, serta dialog antara berbagai tingkat pengadilan (yang merupakan titik utama demokrasi peradilan); dan menarik perhatian cendekiawan dan legislator untuk mengurusi masalah hukum yang hadir di masyarakat. Dalam pendekatan yang lebih emosional, disebutkan bahwa dissenting opinion bukanlah keluhan seorang yang kalah, tetapi sebuah argumen dari kemungkinan memenangkan perkara yang sama dari kenyataan hukum yang terus berkembang.

Hal ini terutama terjadi apabila hakim menghadapi kasus yang berkaitan dengan incommensurable values atau suatu “hard case” yang membutuhkan analisa yang tajam, tidak ada yang bisa memastikan bahwa keputusan mayoritas cenderung lebih benar daripada pendapat hakim disenter. Mungkin dissenting opinion ini dapat ‘melemahkan’ posisi mayoritas hakim dimata publik, namun juga dapat memperkaya‘marketplace of ideas’ yang berpengaruh terhadap perkembangan hukum kedepannya. Istilah “marketplace of ideas” merujuk pada pandangan Gerard Brennan, seorang Hakim Mahkamah Agung Australia, yang menyatakan bahwa ‘judges making law’ telah menunjukan sistem peradilan sebagai tempat untuk mempertemukan pemikiran-pemikiran hakim dalam memutus suatu perkara. Pendapat hakim mayoritas tidak menjadikan pendapat minoritas itu buruk, begitupun sebaliknya, karena keduanya dapat menjadi referensi dalam perkembangan hukum setelahnya.

Fungsi hakim sebagai pembaharu hukum tidak dapat dilepaskan dari kebebasan hakim itu sendiri untuk menggali hukum, sehingga akan menyediakan ruang untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping). Proses ini ditempuh melalui penalaran (interpretasi) terhadap norma-norma yang ada yang dihubungkan dengan dimensi lainnya yang kompleks. Pada persoalan yang menyangkut konstitusionalisme misalnya, banyak terobosan yang dilahirkan oleh hakim konstitusi dalam melakukan pembaharuan hukum. Beberapa diantaranya ada yang berhasil dirumuskan dalam putusan, namun tidak sedikit yang berbentuk dissenting opinion. Ide-ide pembaharuan hukum dalam dissenting opinion inilah yang kemudian dapat menjadi referensi bagi hakim konstitusi dalam menilai suatu perkara yang relatif sama.

 

 

KESIMPULAN

 

Dissenting opinion seringkali terisolasi sebagai produk yang dihasilkan oleh hakim konstitusi, karena yang diakui mengikat secara hukum adalah argumentasi hakim yang membentuk putusan. Sedangkan di sisi lain, dissenting opinion justru memiliki true value untuk memastikan bahwa putusan telah mewujudkan suatu kejelasan, kepastian, akurasi dan kualitas yuridis. Sebagai opini hakim konstitusi yang memiliki latar belakang sebagai seorang ahli dan bidang konstitusi dan ketatanegaraan, dissenting opinion bisa menjadi semacam alternatif koreksi atas suatu kesalahan pengadilan dalam mengambilputusan. Suara mayoritas hakim dirasa adil pada saat putusan itu muncul, namun tidak serta merta putusan tersebut benar secara mutlak. Dissenting opinion dapat berperan dalam meletakan fondasi pada keputusan yang akan datang, yang secara bertahap dibangun oleh hakim-hakim setelahnya yang tertarik mengembangkan pendekatan yang digunakan oleh hakim disenter. Dengan kata lain, dissenting opinion diasosiasikan sebagai bahan referensi hakim konstitusi, dalam memeriksa suatu perkara yang relatif sama. Tidak sedikit dissenting opinion berisi pandangan-pandang yang cenderung progresif, melihat hukum sebagai suatu fakta yang terus berkembang, dan bahwa hukum terus mengalami pembaharuan, sehingga dissenting opinion tersebut dapat menjadi alternatif dalam mana hakim konstitusi melakukan pembaharuan hukum tersebut.


 

 



[1]Martin Edelman, Democratic theories and the Constitution, SUNY Press (1984), ISBN 0873958721 ISBN 978-0-87395-872-1

[2]Judith Bannister, Government Accountability, (Port Melbourne: Cambridge University Press, 2015), 390.

[3]Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang- Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 289-291.

[4]Ahmad Yani, “Sistem Pemerintahan Indonesia: Pendekatan Teori dan Praktek Konstitusi Undang- Undang Dasar 1945”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Volume 12, Nomor 2, (2018): 119 – 135.

[5]Peter W. Hogg dan Ravi Amarnath, “Why Judges Should Dissent”, University of Toronto Law Journal, Vol. 67, No. 2, (2017): 126-141.

[6]Simon Butt, “The Function of Judicial Dissent in Indonesia’s Constitutional”, Constitutional Review, Vol. 4, N0. 1, (2018): 11.

[7]John Alder, “Dissents in Courts of Last Resort: Tragic Choices?”, Oxford Journal of Legal Studies, vol. 20, (2000): 221.

[8]Sonja Stojadinovic, “Political Influence on the Constitutional Court in the Republic of Macedonia:Reflections through the Dissenting Opinions in the Period of 2012-2015”, Constitutional Review, Vol. 5, No. 1, (2019): 70-95.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEGALITAS MONEY POLITIK OLEH DPR, PENGERTIAN DAN NEGATIVE IMPACT BERLAKUNYA MONEY POLITIC

PRO DAN KONTRA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA

PENTINGNYA PENGESAHAN SERTIFIKASI APOSTILLE DI INDONESIA