PEMBATASAN MASA JABATAN KETUA UMUM PARTAI POLITIK

PEMBATASAN MASA JABATAN KETUA UMUM PARTAI POLITIK

Dibuat Oleh:

Rinda Eka Sari

( Anggota Divisi Debat MCC FS UIN RIL)



    Pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik adalah topik yang memicu adanya pradigma. Jika melihat di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 memang betul tidak adanya aturan mengenai masa jabatan ketua umum partai politik, yang ada hanyalah pengaturan mengenai masa jabatan Presiden. Sesudah amandemen ke-3 UUD Negara R.I. Tahun 1945 basis konstusional eksistensi partai politik di Indonesia semakin kuat sebagai salah satu pilar pelaksanaan prinsip negara yang berkedaulatan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam alinea ke4 Pembukaan UUD Negara R.I. Tahun 1945 dan Pasal 1 ayat (2) UUD Negara R.I. Tahun 1945.

    Sebelum amandemen ke-3 UUD Negara R.I. Tahun 1945, eksistensi partai politik memperoleh dasar konstitusionalnya dalam Pasal 28 UUD yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Sejak amandemen ke3 UUD secara eksplisit ditentukan peranan partai politik dalam pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (2) untuk dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu UUD menentukan pula peranan partai politik sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD (Pasal 22E ayat (3).

    Mengapa UUD menekankan pada salah satu fungsi partai politik saja yaitu sebagai sarana rekrutmen kepemimpinan politik? Padahal disamping itu partai politik mempunyai fungsi lainnya seperti fungsi sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik dan sarana pengatur konflik. Sebabnya ialah karena pembentuk UUD memandang soal kepemimpinan politik sangat strategis dalam penyelenggaraan negara. Melalui proses rekrutmen kepemimpinan yang demokratis diharapkan supra struktur politik akan diisi oleh pemimpin-pemimpin yang akseptabel dan kapabel melalui proses seleksi yang demokratis. Sudah tentu fungsi lainnya dari partai politik tetap dianggap penting dan secara lebih rinci akan diatur dalam UU sebagai pelaksanaan ketentuan konstitusi.

    Seperti diketahui sesudah amandemen ke-3 UUD Negara R.I. tahun 1945 pada tahun 2002 telah diundangkan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik untuk menggantikan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perubahan ketatanegaraan serta sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/2001 dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002.

    Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik oleh pembentuk undang-undang dipandang perlu untuk diperbaharui sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat. Sehubungan dengan itu pada tanggal 4 januari 2008 telah diundangkan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik memang tidak secara detail dan jelas mengatur soal batasan periode kepemimpinan ketua umum partai politik.

    Pasal 23 Ayat (1) dalam undang-undang tersebut hanya menyebutkan bahwa pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik. Jika mengacu pasal tersebut, artinya undangundang ”menyerahkan” sepenuhnya urusan suksesi kepengurusan, termasuk pergantian ketua umum partai politik, kepada partai politik masing-masing.

    Soal tidak adanya pembatasan periode jabatan ketua umum partai politik ini kemudian mengemuka dengan adanya permohonan uji materi terhadap Pasal 23 Ayat (1) di UU No 2/2011. Permohonan ini diajukan oleh Eliadi Hulu dan Saiful Salim yang diregistrasi dengan nomor 69/PUU-XXI/2023 tanggal 27 Juni 2023. Pertimbangan permohonan di antaranya UU Parpol wajib memerintahkan pengaturan pembatasan masa jabatan pimpinan parpol dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

    Pengaturan pembatasan periodisasi pimpinan parpol dipandang perlu karena implementasi dari parpol sebagai instrumen, pilar demokrasi, dan pelaksana kedaulatan rakyat. Pemohon uji materi berharap MK bisa mengabulkan permohonan mereka untuk mengganti Pasal 23 Ayat (1) tersebut dengan menambah ketentuan pembatasan masa jabatan ketua umum selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.

    Sebagian besar partai politik cenderung menolak wacana pembatasan masa jabatan ketua umum partai. Sejauh ini baru Partai Solidaritas Indonesia yang cenderung menyambut wacana pembatasan periode jabatan ketua umum partai ini. Namun, terlepas dari pro-kontra terkait uji materi pembatasan periode kepemimpinan partai politik, tidak semua partai politik memiliki rekam jejak sirkulasi kepemimpinan yang dinamis. Ada sejumlah partai politik yang dipimpin oleh sosok ketua umum yang sama sampai beberapa periode, tetapi ada juga partai politik yang mengalami sirkulasi dinamis. Partai politik terakhir ini lebih memiliki rekam jejak dipimpin oleh sosok yang berbeda di tiap periode kepemimpinan partai.

    Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) terkait masa jabatan ketua umum partai politik (parpol) dibatasi menjadi sepuluh tahun atau dua periode. Amar putusan: mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kataKetua Majelis Hakim MK Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung MK RI, sebagaimana dipantau secara daring.

    Hal ini memicu pendapat dari berbagai pihak, banyak orang yang memberikan gagasan mengenai pradigma pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik. Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, setuju Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan membatasi masa jabatan ketua umum partai politik (ketum parpol). Pembatasan akan menghentikan praktik politik dinasti dalam kepengurusan parpol. "Sebelum ada pembatasan masa jabatan ketum partai, selamanya di Indonesia tidak ada partai. Yang ada itu adalah perusahaan keluarga bernama partai," ujar Feri kepada wartawan

    Menurut Feri, tidak adanya pasal yang membatasi masa jabatan ketum parpol dalam UU Partai Politik terbukti telah memunculkan ketum yang menjabat selama puluhan tahun. Panjangnya masa jabatan itu lah yang menjadi cikal bakal politik dinasti. Pasal yang digugat yakni Pasal 2 Ayat (1b) dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Risky ingin masa jabatan ketum parpol dibatasi menjadi maksimal 10 tahun. Adapun Pasal 2 Ayat (1b) UU Parpol berbunyi, "pendiri dan pengurus partai politik dilarang merangkap sebagai anggota partai politik lain."

    Adapun pendapat yang sama menurut Risky, pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Dalam gugatannya, Risky mengatakan tidak adanya batasan masa jabatan berimplikasi adanya penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Dalam artian, jabatan tersebut bisa digunakan untuk untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, maupun korporasi. Dia pun menyinggung pernyataan Ketua Komisi III DPR RI dari PDIP Bambang Wuryanto. Saat rapat kerja terbuka di Komisi III DPR beberapa waktu lalu, Bambang menyampaikan di Indonesia gampang jika ingin melakukan lobi politik lewat ketua umum parpol. "Pemohon turut mendalilkan atas pernyataan Bambang Wuryanto maka benar terjadi abuse of power Ketua Umum Partai masing-masing, dan merugikan hak konstitusional Pemohon yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat bukan berada di tangan ketua umum partai," ujar dia.

    Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan judicial review (JC) atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik (Parpol). Permohonan gugatan itu diajukan oleh dua orang bernama Eliadi Hulu warga Nias, Sumatera Utara, dan Saiful Salim warga asal Mantrijeron, Yogyakarta. Yang mana juga mengemukakan pendapat yang sama seperti diatas. Gugatan itu diterima pada Rabu 21 Juni 2023, yang dikuasakan oleh Leonardo Siahaan. Dalam gugatan tersebut, mereka menuntut masa jabatan ketua umum partai politik yang tidak termuat dalam undang-undang. Alhasil, kekuasaan ketua umum partai terkadang terpusat pada orang tertentu sehingga terciptanya dinasti dalam tubuh partai.

    "Saya kira secara ideal ketua umum partai itu mesti diatur berapa lama masa jabatan politiknya. Tentu ini untuk memberi ruang regenerasi. Ruang potret yang berkesinambungan dalam potret regenerasi kepemimpinan ketua umum partai politik. Dua periode atau tiga periode, saya kira masuk akal," ujar Adi Prayitno. Selain itu, tuntutan ini menunjukkan harus adanya upaya modernisasi di internal partai. Sebab, bagaimanapun partai politik adalah ujung tombak dari demokrasi. Jadi, jangan hanya ada perubahan pada rekrutmen kader partai politik, tetapi juga pada pemimpin partai. "Ini menunjukkan harus adanya upaya modernisasi di internal partai politik karena bagaimanapun partai politik adalah ujung tombak dari demokrasi. Jadi, saya kira usulan tersebut cukup bagus lantaran pada praktiknya memang partai politik itu masih terbelah . Satu sisi memang begitu banyak merekrut orang pada rekrutmen kader politik, tapi pada ketua umum tidak ada perubahan," jelasnya.

    Namun, Adi turut menilai, tidak semua kader politik bisa menerima unsur perubahan tersebut. Terutama pada masa jabatan ketua umum yang memberikan pengaruh besar pada kekuasaan partai. Salah satunya, dalam pemilihan suara di pemilihan umum legislatif (pileg). "Namun, problemnya adalah, apakah mau elite-elite partai menerima masukan ini. Sebab partai politik di Indonesia terpusat dan tersentralisasi pada ketua umum yang menjabat hingga bertahuntahun. Artinya kekuatan partai politik terpersonalisasi pada sosok figur-figur ketua umum mereka," tukas Adi Prayitno.

    "Yang ketiga, soal undang-undang partai politik karena undang-undang parpol yang membuat adalah anggota dewan bersama pemerintah sehingga sulit aspirasi akan didengar. Karena apapun judulnya, kemewahan-kemewahan partai yang tidak mau diubah itu ,sulit untuk diubah oleh UU karena bagaimanapun partai tersebut tidak mungkin mempersulit posisi dirinya dengan UU yang membatasi ketua umum partai," sambungnya.

    Sementara itu, Pengamat Politik dari Universitas Siliwangi Hendra Gunawan, turut menyetujui gagasan pembatasan masa jabatan untuk ketua umum partai politik. Ia menilai pembatasan ini dapat menciptakan sistem politik yang sehat. Guna menghindari terciptanya 'Dinasti Politik' di tubuh partai. "Masa jabatan ketua umum Parpol harus dibatasi. Hal itu untuk menyehatkan sistem atau kelembagaan parpol yang ada dan untuk menghindari tumbuhnya 'Dinasti Politik' di tubuh parpol itu sendiri," ujar Hendra Gunawan ketika dihubungi Merdeka.com, Rabu (28/6). 

    "Idealnya, sekitar 7-10 tahun. Jadi, masa gugatan sampai 5 tahun dua periode itu sangat efektif dan sudah cukup bagi seorang ketua umum parpol mewujudkan visi dan misinya," sambungnya. Meski begitu, Hendra mengatakan dengan adanya gugatan ini tentu akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat begitu pula kader politik. Pertama, mendorong partai politik melakukan pelembagaan dengan baik melalui kader-kader muda yang progresif dan visioner. Kedua, institusionalisme kepartaian akan berjalan lebih dinamis. "Ketiga, yang lebih penting lagi adalah parpol bisa merespons tuntutan zaman dengan kader-kader baru yang militan, karena setiap orang ada zamannya," kata Hendra.

    Adapun kontranya adalah partai politik yang sudah memiliki pemimpin permanen sejak awal pasti akan menolak dengan keras perubahan ini. Selain itu, dia katakan, untuk partai politik yang baru dan belum memiliki kader militan akan kesulitan dalam melakukan institusionalisme kepartaian. "Dan, terakhir timbulnya konflik dari rotasi kepemimpinan di tingkat elit jika sistem di dalam partai politik tersebut belum efektif," ujar dia.

    Berdasarkan berbagai opini dari setiap orang mengenai pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik yang pro atas hal tersebut yang saya kutip disini saya juga tim pro atas hal tersebut yang mana Indonesia sendiri menerapkan prinsip demokrasi. Salah satu prinsip demokrasi yang harus ada di dalam partai politik yaitu adanya pembatasan masa jabatan ketua umum partai, artinya apabila di dalam partai politik itu tidak adanya pembatasan berapa lama ketua umum itu berkuasa maka stabilitas demokrasi didalam partai tersebut akan terguncang. Urgensi pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik menjadi gagasan pendukung akan suara yang menyatakan pro atas hal tersebut.

    Urgensi Pembatasan Masa Jabatan Ketua Umum Partai Politik:

  1. Agar terciptanya proses demokratisasi di dalam tubuh parpolDengan dibatasinya masa jabatan ketua umum parpol, tentu akan menciptakan demokratisasi yang sehat didalam tubuh partai politik, dikarenakan akan mengalami regenerasi kepemimpinan setiap periode. Dengan adanya regenerasi itu tentu anggota-anggota yang muda dan berkompeten akan memiliki peluang untuk bisa mendudukki jabatan tersebut. Demokrasi didalam partai politik bukan hanya persoalan proses pengangkatan ketua umum, dan saling tukar pendapat untuk mencapai mufakat saja, namun ada hal lain yang lebih penting yaitu mengenai pembatasan masa jabatan ketua umum tersebut. Jika hal tersebut tidak perlu diatur maka kemungkinan besar suatu partai akan mengarah kepada partai yang otoriter atau bahkan terciptanya dinasti politik didalamnya. Tentu semua ini bukan dari konsep demokrasi yang selama ini kita kenal. Didalam UU Parpol sendiri dikatakan dengan jelas sebagaimana tertuang didalam pasal 13 huruf d yang menegaskan bahwa partai politik berkewajiban menjunjung tinggi: supremasi hukum, demokrasi dan hak asasi manusia. Namun dalam kenyataanya sebagian besar partai politik yang ada tidak menjalankan amanat dari UU dan pasal itu sebagaimana mestinya. Hal itu bisa kita lihat pada tabel 2 diatas yang menggambarkan bahwa semakin dominannya posisi ketua umum untuk menjabat dalam waktu yang begitu lama.
  2. Untuk menyehatkan penyelenggaraan demokrasi di IndonesiaPembatasan masa jabatan ketum parpol menjadi hal penting demi menciptakan penyelenggaraan demokrasi yang sehat ataupun ideal karena partai politik merupakan pilar penting dalam mewujudkan demokrasi yang produktif serta menjadi komponen utama dalam sistem demokrasi. Partai politik harus terorganisir secara demokratis, dan memiliki akar yang kuat dalam masyarakat sehingga mampu menularkan nilai-nilai demokrasi yang hakiki kepada masyarakat. Partai politik memiliki tugas untuk mengartikulasikan kehendak publik, mengadakan pendidikan politik, mengembangkan dan menawarkan alternatif kebijakan dan menyediakan pilihan politik kepada masyarakat. Maka dari itu demokrasi yang sehat tidak akan bisa muncul di Indonesia jika proses penyelenggaraan demokrasi tidak berjalan di dalam tubuh partai politik. Salah satu contohnya adalah jika jabatan ketua umum sebuah partai politik dijabat secara terus menerus oleh satu orang. Yang akan menyebabkan terciptanya oligarki dan kekuasaan absolut di internal partai dimana proses pengambilan keputusan hanya akan berkutat di sosok ketua umum dan elit partai yang diangkatnya. Bahkan ketua umum akan cenderung mempertahankan kekuasaan politiknya dengan menempatkan keluarganya dalam jabatan penting di internai partai politik. Mengutip Lord Acton yang mengatakan bahwa: “power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely” yang diartikan, kekuasaan cenderung untuk korup, dan kekuasaan absolut pasti korup secara absolut. Namun hal itu bisa dihindari jika jabatan ketua umum sebuah partai politik diatur atau dibatasi melalui sebuah undang-undang. Pembatasan itu akan membuka peluang kader muda dan berkompeten untuk menduduki jabatan tertinggi di dalam partai politik. Berarti bisa berjalannya proses regenerisasi dan menghindari terbentuknya dinasti politik di dalam partai politik itu sendiri. Selama aturan tidak dibuat dengan jelas dan tidak dijalankan maka akibatnya, individu-individu (kader) yang berbakat tidak akan mendapat kesempatan untuk berkembang, dan hanya menjadi mesin partai semata.
  3. Untuk mencegah terjadinya politik dinasti dan personalisasi tokoh dalam Partai Politik dengan diaturnya pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik, hal tersebut merupakan salah satu cara untuk mencegah dari politik dinasti. Politik dinasti dan dinasti politik merupakan dua hal berbeda. Politik dinasti adalah proses mobilisasi regenerasi kekuasaan kaum oligarki yang bertujuan untuk meraih atau melanggengkan kekuasaan, sedangkan dinasti politik ialah sistem reproduksi kekuasaan yang mengandalkan familisme atau hubungan kekerabatan. Kedua hal tersebut dapat dikatakan sebagai sistem yang bertentangan dengan demokrasi karena telah membatasi ruang lingkup demokrasi yang seharusnya membuka peluang dalam berpolitik seluas-luasnya.
  4. Untuk melakukan regenerasi calon pemimpin Indonesia Figur ketua partai politik seringkali mengidentikkan atau bahkan menyamakan dirinya dengan partai itu sendiri sehingga menihilkan peran para anggotanya. Sehingga tiap apa yang dikeluarkan oleh partai tersebut bisa dibilang itu adalah sesuatu yang diinginkan oleh ketua umum tersebut. Melihat dinamika politik nasional pada saat ini, ternyata masih didominasi oleh wajahwajah lama. Akibat dari itu semua, paradigma dan perilaku politik yang dilakukan juga tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Banyak kalangan, khususnya generasi muda yang mengeluhkan regenerasi kepemimpinan partai politik yang melemah bahkan cenderung mandek. Hal itu ditunjukkan oleh dominasi nama-nama lama yang kembali hadir sebagai pucuk pimpinan partai politik nasional. Dengan banyaknya keluhan dari kalangan khususnya generasi muda, maka sudah saatnya untuk segera diatur mengenai pembasan masa jabatan ketua umum parpol. Karena selama ini dengan belum diaturnya masa jabatan ketua umum parpol sangat terlihat bahwa tidak terciptanya regenerasi, padahal dengan terciptanya regenerasi tersebut diharapkan akan muncul calon-calon pemimpin yang diharapkan.


    Dalam struktural, jabatan ketua umum partai politik memiliki peran penting dalam organisasi partai politik, karena ketua umum partai politik mempunyai kewenangan dan kekuasaan untuk menentukan arah, dan fungsi partai, agar peranan dan kekuasaan yang dimiliki oleh ketua umum parpol tidak disalahgunakan dan diselewengkan maka masa jabatan ketua umum partai politik perlu diatur dan dibatasi. Melihat hal itu pemerintah berwenang untuk mengatur masa jabatan ketua umum partai, melalui revisi UU Parpol dengan cara melakukan penambahan pasal terkait pengaturan masa jabatan ketua umum partai politik. Salah satu prinsip demokrasi yang harus ada didalam partai politik yaitu adanya pembatasan masa jabatan ketua umum partai, artinya apabila didalam partai politik itu tidak ada pembatasan berapa lama ketua umum itu berkuasa, maka stabilitas demokrasi didalam partai tersebut akan terguncang. Pembatasan masa jabatan ketum parpol menjadi hal penting demi menciptakan penyelenggaraan demokrasi yang sehat ataupun ideal karena partai politik merupakan pilar penting dalam mewujudkan demokrasi yang produktif serta menjadi komponen utama dalam sistem demokrasi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LEGALITAS MONEY POLITIK OLEH DPR, PENGERTIAN DAN NEGATIVE IMPACT BERLAKUNYA MONEY POLITIC

PENTINGNYA PENGESAHAN SERTIFIKASI APOSTILLE DI INDONESIA

PRO DAN KONTRA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA