MENGULIK INDIVIDUALISASI PIDANA ANAK TERHADAP JUVENILE JUSTICE
Mengulik Individualisasi Pidana Anak Terhadap Juvenile Justice
Oleh :
Siti Pajar Rahayu
(Magang Anggota Divisi Kajian Dan Penelitian)
sumber : www.imdb.com/ Juvenile Justice
Juvenile Justice atau dikenal sebagai peradilan anak merupakan sistem aturan serta kebijakan dimaksudkan mengatur pelaku pelanggaran pidana dibawah umur. Drama korea ini memperlihatkan betapa beratnya menjatuhkan sanksi yang adil dan berimbang tanpa pandang bulu bagi hakim kepada pelaku dibawah umur seperti remaja dan anak-anak. Maraknya pelaku kriminal dibawah umur terjadi tidak hanya di Korea juga dapat terjadi di negara lain salah satunya Indonesia. Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 namun dalam pelaksanaannya minim tata cara penanganan kasus anak menyebabkan salah persepsi bahwa penanganan terhadap anak terutama anak yang berperkara diprioritaskan dan selama prosedur penanganannya spesifik maka anak tersebut terlibat secara hukum.
Individualisasi pidana menurut Soedarto berarti dalam pemidanaan sanksi harus selalu memperhatikan sifat dan keadaan pelaku. Adapun kriteria dari prinsip individualisasi pidana antara lain :
Adanya pertanggungjawaban pidana pada asas personal/pribadi
Tindakan pidana diberikan kepada seseorang yang memiliki asas culpabilitas/bersalah
Tindakan pidana menyesuaikan dengan karakteristik dan keadaan si pelaku.
Prinsip individualisasi pidana dapat bersifat sosiologis, ideologis, dan filosofis bagi masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan keistimewaan keserasian, keselarasan serta keseimbangan antara kehidupan masyarakat dan kehidupan individu, yang disebut visi terpadu untuk tujuan penghukuman. Upaya agar memberi perlindungan anak dalam proses peradilan harus berlandaskan tujuan dan dasar peradilan anak (juvenile justice) tercantum dalam United nations standard Minimum rules for the administration of juvenile justice. Hal ini dapat dikatakan juvenile justice bersama peranan hakim tidak lepas dari paham hukum non legisme, sehingga menghilangkan aspek nilai dari hukum tersebut dikaji atas dasar aspek moral, dan sosial. Scholten memberi pandangan mengenai positivisme terlihat dari undang-undang, peraturan-peraturan, dan vonis namun melupakan adanya sesuatu yang lain bahwa hukum sebagai pedoman perjalanan spiritual manusia, individu dan kemaslahatan kebersamaan.
Pengaturan tentang modifikasi atau peninjauan kembali putusan pidana memiliki kekuatan hukum berlandaskan pada kesadaran pada individu pelaku tersebut. Prinsip individualisasi pidana merupakan dasar pidana memberikan perlindungan secara terpadu serta perlindungan bagi masyarakat dan pembinaan kepada pelaku. Refleksi dari UU No. 11 Tahun 2012 yakni upaya diversi pada semua tingkat pemeriksaan, penelitian kemasyarakatan BAPAS berperan perbaiki kualitasnya, dan prosedur hukum acara menjadi tempat pertimbangan hakim, serta prinsip individualisasi pidana guna mewujudkan kepentingan dan perlindungan anak.
Referensi
J.J.H.Bruggink, 1999, JJH.Refleksi Tentang Hukum, Penerjemah B. Arief Sidharta, Bandung:Citra Aditya Bakti.
Muladi,, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cetakan II, Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Pramukti, Angger Sigit dan Fuady Primaharsya. 2015. Sistem Peradilan Pidana Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Serikat Putra jaya, Nyoman, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang, Badan penerbit
UNDIP. Soetedjo, Wagiati, 2006, Hukum pidana anak, Bandung: Refika Aditama.
UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Editor : Pengurus Kajian dan Penelitian MCC
Publikasi : KomInfo
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus